Aku terbangun karena mimpi buruk. Terperanjat bergegas
menghampirinya. Ku buka perlahan pintu kamarnya, aku melihat dia masih
bernyawa, huft…aku bernafas lega. Dia yang semakin renta, keriput wajahnya
semakin terlihat jelas, bunga jambu yang menghiasi rambut panjangnya membuatnya
terlihat semakin menua. Otot-otot tangannya menggambarkan dia seorang pekerja
keras. Dia tertidur meringkuk, ku luruskan posisinya. Semakin tak tega aku
melihatnya. Perlahan aku belai pipinya, seperti dia membelaiku sewaktu bayiku.
Aku kecup keningnya, seperti dia mengecupku, ku bentangkan selimut disekujur
tubuhnya, agar hawa dingin tidak mengigilkan tubuhnya. Aku peluk perlahan agar
dia tidak terbangun karena ulahku. Aku hanya ingin berada disisinya selama
waktu belum memupus.
Usia yang semakin memendekkan pertemuan kita menjadi
semangat agar aku selalu dan mampu membuatnya tersenyum bahagia.
Bergantian aku memandangi ayah. Tubuhnya tak sekuat
remajanya. Wajahnya sama mengeriput, rambutnya juga sama semakin memutih. Aku
melihatnya dengan jelas, hembusan nafasnya menandakan dia tertidur pulas. Aku
tersenyum kecil. Mereka menua dimakan usia.
Tak sadar aku menyenggol lengan ibu, hingga dia terbangun.
Dia melihatku yang tiba-tiba berada disisinya.
“Ada apa nduk? Kamu ngelilir.?” Tanya ibuku dengan suara
lirihnya.
“Iya bu…Ibu ayo bangun, kita shalat malam berjama’ah…”
Ibu tersenyum menuruti pintaku. Ayah tak kunjung bangun,
sepertinya dia terlelap karena letih. Ku bentangkan selimut ibu ke sekujur
tubuh ayah. Ku tengok kembali keadaan ayah selesaiku berwudlu, posisinya masih
sama tak berubah. Ternyata ayah benar-benar pulas.
Shalat malam terlaksana dengan khusuk, suasana sepi membawa
kita menyelami makna tahajud. Air mata berderaian saat ku panjatkan do’a dengan
berbagai permintaan, agar Allah memberikan panjang umur kepada orang tuaku.
Sedikit-dikit ibu menengok kearahku, setelah selesai bermunajat ku cium pungung
telapak tangannya, sembari kuucap “Ibu maafkan aku yang belum bisa membuatmu
lepas dari belenggu, aku yang masih membebanimu, aku yang selalu membuatmu dan ayah
payah”
“Nak jangan kau ucap semua itu, itu adalah kewajiban kami
sebagai orang tua, pertanda bahwa kami sayang kepadamu.”
Dengan pelukannya ku hentikan tangis isakku. Peluknya begitu
hangat, membuatku nyaman ketika berada disisinya. Seakan aku tak mau beranjak
dari sisinya. Dia pun dengan lembut mengusap air mataku.
Terdengar suara murotal dari mushola, setelah terdengar
suara azan berkumandang kami dirikan shalat subuh berjama’ah. Kali ini diimami
oleh ayah, yang sudah terbangun dari tidurnya. Aku begitu lega, keluarga ku
seakan utuh.
Ku pandangi jam dinding terlihat jam menunjukkan pukul
05.00, “masih pagi” batinku.
Aku terkaget ketika melihat ibu sudah berbusana rapi, dengan
memakai jubah putih dan jilbab hitam yang menutupi rambut panjangnya.
“Ibu mau kemana? Cantik sekali”
“Mau kepasar, sayur mayur sudah tak tersisa di kulkas.”
“Y sudah ibu hati-hati…”Lalu aku kecup punggu telapak tangan
ibu.
Saat aku melihat ibu mulai melangkahkan kaki, hatiku
tergerak untuk ikut ibu pergi ke pasar. Aku ingin sekali bersama-sama ibu. Aku pun
menghentikan langkah ibu.
“Ibu….aku ikut…” teriakku
Ibu menggeleng melarangku ikut dengannya, padahal ingin
sekali aku ikut ibu. Apa daya aku pun hanya mampu tersenyum kecil padanya.
Aku pun mengalihkan pekerjaanku untuk menghapus sedikit
kekecewaan terhadap ibu karena melarangku. Aku bersihkan seisi ruangan rumah,
dan aku tanakkan nasi, untuk nanti jika ibu datang tinggal memasak lauk saja.
Aku siapkan dua gelas kopi untuk ayah dan ibu. Aku bernafas
lega karena pekerjaanku sudah selesai. Kini aku duduk-duduk di serambi rumah
sambil menunggu ibu. Tiba-tiba terdengar suara sirine menuju arah rumahku,
pikirku “suara sirine….kemana menuju, lho
kok polisi, siapa yang dicari???”
“Mbk…rumah ibu zulaikhah???”
Aku hanya tercengang saat polisi menanyaiku, tiba-tiba ayah
yang baru muncul ditengah-tengah kami langsung menyahut.
“Iy pak benar, ada apa??”
“Kami beritahukan bahwa ibu Zulaikhah dalam keadaan kritis
karena kecelakaan, sekarang berada di rumah sakit Pribumi”
Aku tak mampu berucap sepatah katapun, air mata pun tak
keluar dari pelupuk mataku. Selangkah pun kakiku serasa tak mampu bergerak. Suaraku
tersendat, aku hanya mampu tercengang. Ayah menenagkanku, dia berikan aku
pelukan hangatnya.
“Pak bisa kita ikut bapak menuju rummah sakit??” Pinta ayah
pada pihak kepolisian.
Kami menuju rumah sakit dengan menggunakan mobil polsek. Pikirku
tak mampu terkendali, sketika itu tiba-tiba pita suaraku tergerak untuk
berteriak. Tanpa terkendali aku pun berteriak di dalam mobil polisi.
“Ibu…” Ayah mendekap aku rapat. Semua petugas menoleh
kearahku. Namun tak ada rasa malu yang aku rasa. Terus ku panggil nama ibu, aku
semakin melemas tak berdaya. Suaraku semakin melirih, air mata semakin
menderas. Yang dibenakku hanyalah ibu.
Setibanya di rumah sakit Pribumi aku gugup mencari ruangan
dimana ibu terbaring. Akhirnya aku
temukan ibu, yang lemah tak berdaya. Saat aku dan ayah tiba, ibu tersadar. Dia melirik
kea rah kami. Namun dokter belum mengizinkan kami masuk ruangan ibu, ibu masih
dalam perawatan. Aku terus memandangi ibu. Tangan ibu bergerak ke arahku dan
bapak, dengan memaksakan kondisinya ibu menggerakkan tangannya. Aku memaksa
memasuki ruangan, dokter masih saja melarangku. Aku terus berontak, dan aku pun
berhasil memeluk tubuh ibu. Ayah membuntutiku, mencoba bersikap tenang. Dengan sisa-sisa tenaganya ibu mengelus
kepalaku. Kata dokter luka ibu tidak parah, namun terdapat benturan dikepalanya
yang membuatnya tak berdaya.
Ibu tersenyum kepadaku, dia kuatkan aku dengan mengenggam
jemariku. Ingin rasanya aku berteriak didepan ibu, namun aku tahan semua itu. Aku
melihat nafas ibu yang semakin lama semakin sepenggal. Dengan ku bisikkan
kalimat-kalimat tayyibah di dekat telinganya. Ibu pun menghembuskan nafas
terakhirnya. Kini ibu benar-benar pergi tuk selamanya. Tim rumah sakit
menutupkan kain mori di sekujur tubuhnya, untuk yang terakhir kalinya aku kecup
kening ibu. Semua terasa menyakitkan bagi ku dan juga ayah. Tak akan ku temukan
surga tuk kedua kalinya di telapak kakinya, tak ada surga lagi disana. Namun
semua sudah menjadi kehendak sang pemilik hidup. Lagi-lagi ayah mendekapku, dia
kecup keningku sebagai penguat bahwa aku tak sendiri.
Hanya bayangan ibu yang terdapat dianganku. Menyesal kini yang
aku rasa, “andai saja aku yang pergi
kepasar, pasti semua tidak terjadi pada ibu. Namun nasi sudahlah menjadi bubur. SELAMAT JALAN IBU…”
Dan ternyata aku baru tersadar bahwa malam itu, tahajud itu,
hanya sebagai kenangan terakhirku bersama ibu. Dan sekarang hanya dengan do’a
aku bisa bahagiakan ibu di sana. Tak mau ku menyesal untuk kedua kalinya, kini hanya
ayah yang aku punya, tak ingin aku sia-siakan kehidupan bersamanya. Kebahagiannya
adalah kebahagiaanku, kesedihannya hanya membuatku semakin pedih.
The end
3 komentar:
Subhanallah, banyak perubahan yg trjadi sma tmanku yg satu ni
Sukses ya pi,,, trus berkarya y.....
trimakasih...
semoga menjadi doa yang didengar oleh Nya...
Amin amin amiiin
Posting Komentar