CAHAYA PELIPUR LARA
Semilir angin berayun, menggerakkan
pohon-pohon tinggi di sekitar halaman. Rumput-rumput yang tak terlihat subur
karena gelapnya malam. Suara erikan jangkring bak alunan musik melow mengiringi
panjang perjalanan mimpi dalam nyenyak tidurnya. Kini semua insan terlelap
dalam kisah bawah sadar. Berharap esok pagi datang dengan sapaan mentari yang
cerah. Lupakan kepenatan yang pernah terjadi, gantikan suasana hati hampa
menjadi ceria. Dan kini malam menjadi singgasana damai setiap umat.
Dengan setengah sadar Tiyo memicingkan sebelah
mata, berusaha melihat jelas jarum jam yang menunjukkan pukul 01.45 WIB. Rasa
malas masih mengandrungi segenap jiwanya, raganya pun berusaha mengumpulkan
serpihan nyawa yang masih belum genap setelah terbuai dalam tidur lelap.
Setumpuk arsip tertumpuk rapi diatas meja, memaksanya entah harus tersenyum
atau sebaliknya saat bertatap kembali. Dan Tiyo tak pantang melawan nafsu, di
usap-usap kedua matanya namun ternyata tanpa di sadarinya Tiyo masih terbawa
kembali dalam kenikmatan kelabu hingga terdengar suara alarm berdering keras
tepat diatas kepala menunjukkan pukul 02.00 WIB. Kini nafsunya benar-benar
terusir, kedua matanya terbelalak, gerakannya cepat menuju kamar mandi dengan
setengah sempoyongan. Tiyo mulai mengambil wudlu dan melaksanakan shalat tengah
malam. Dia nikmati setiap gerakan dan lafadz-lafadz suci, meski tak seratus persen
khusuk namun setidaknya usahanya ada untuk itu. Percaya bahwa Tuhan Maha Tahu.
Hampir kurang lebih setengah jam Tiyo bermunajat
kepada Tuhan. Kini mulai didekatinya arsip-arsip yang telah lama menunggu
sapaannya. Revisi-revisi yang harus di perbaharui demi kesempurnaan skripsi
yang akan menjadikan Tiyo seorang sarjanawan. Lulus dengan nilai kumplot adalah
asanya. Tapi sepertinya sudah berkurang usahanya untuk itu, meski motifasinya sangat
tinggi. Sering kali lelah dan jenuh menghampirinya, apalagi dengan kerap kali
revisi yang harus dia lakukan. Namun dibalik lelahnya fikiran dan tenaganya ada
beberapa orang disana yang menanti kelulusannya, meski dengan nilai seadanya.
"Tiyo...gimana
sudah konsultasikan kembali revisi yang kemaren?" Tanya seseorang yang
ternyata Tiyo mengenalnya. Pak Gunawan, beliau adalah orang paling berjasa
dalam hidupnya. Tiyo menundukkan kepala sambil menjabat tangan dan mencium
punggung tangan pak Gun.
"Belum
pak...semalam masih belum mendapatkan ilham...hehe..." Jawabnya dengan
nada sedikit bercanda.
Akhirnya pak Gun sempatkan untuk berbincang
sejenak dengan Tiyo. Beliau koreksi beberapa skripsi yang belum sesuai, sedikit
beliau berikan masukan sebagai penyempurna isi dari skripsinya. Tiyo mengambil
tema tentang aneka budaya khususnya keragaman dalam beragama di Indonesia,
sehingga sedikit membutuhkan pikiran dan tenaga ekstra untuk mendapatkan hasil
yang diinginkan, apalagi dengan skripsi bilingual. Namun semua di jalaninya
sebisa mungkin, demi hasil yang di harapkan.
Tit...tit...tit...tit...Suara
ponsel berdering, sepintas terlihat pesan atas nama Agung P.
Simbah
pengen tlpn km kang,kangen ktny...Pesannya singkat.
Bilng
ke simbah nanti saja aku yg tlpn, skarng msh dikamps...Balas Tiyo.
Segera Tiyo bereskan buku-buku yang berserakan
dimeja perpustakaan. Tumpukan buku yang di pinjam sebagai data refrensi di
kembalikan ke rak dengan rapi. Kemudian langkahnya cepat bergerak menuju kantin
perpustakaan demi mengisi perut yang mulai tak bisa diajak kompromi. Dengan
lauk tahu dan krupuk serta menu oseng-oseng kangkung di lahapnya dengan rasa
nikmat. Menu
yang tak banyak merogoh kantong bagi mahasiswa sepertinya yang hidup dengan
serba pas-pasan.
Tiyo pulang di rumah kostnya bersama dengan
salah seorang teman. Rencananya semalaman mau lemburkan tugas-tugas yang
rasanya sudah agak bosan untuk menyentuh kembali. Kini Tiyo masih asyik bersantai
sebelum kembali berkutat dengan tumpukan arsip tugasnya.
Tit...tit..tit...No
tlpn yang anda tuju berada diluar jangkauan...
Berulang-ulang Tiyo mencoba menghubungi Agung,
tetangga rumah di desanya yang diamanahi untuk menjaga nenek kakeknya di desa.
Agung sudah seperti bagian dari keluarga Tiyo, meski Agung mempunyai kesibukan
lain namun dia bersedia untuk menjaga dan merawat kakek nenek Tiyo selama Tiyo
mengenyam dunia pendidikan di Kota Apel tepatnya di Malang.
Selang beberapa menit, ponsel Tiyo berdering.
"Assalamu’alaikum...kang Tiyo...simbah kang..." Terdengar suara Agung
panik.
"Simbah
kenapa Gung?"
"Simbah
ada dirumah sakit kang..." Jawab Agung terbata.
"Gung...kamu
jangan bercanda. Kenapa bisa?"
"Tadi
pas habis dari rumah, waktu simbah minta tolong buat sms kang Tiyo. Emperan
rumah licin sepertinya kang, karena tadi pagi hujan turun sangat lebat disini.
Tiba-tiba simbah terpleset. Dan sekarang masih belum sadar juga kang..."
Jelas Agung dengan nada gemetaran.
Tanpa berpikir panjang Tiyo segera menghubungi
travel yang sekiranya masih kosong untuk satu penumpang. Sore hari
dipastikan bus menuju Pacitan sudah tidak ada yang berangkat. Hanya travel
satu-satunya kendaraan yang masih bisa diandalkan dan itupun masih berangkat
pada pukul 21.00 WIB nanti.
"Tiyo…yang
sabar ya…ujian Tuhan itu pasti ada hikmahnya" Dengan tersenyum meski agak
memaksa Tiyo menanggapi petuah temannya. Salah satu teman dekatnya yang
mengetahui lika-liku kehidupan Tiyo.
Tiyo adalah seorang yang sangat sayang dengan orang-orang
disekitarnya. Keluarga, teman, dan hidupnya tak ada yang sedikitpun
disia-siakan. Baginya apa yang ia punya saat ini adalah apa yang harus
diperjuangkan. Ibunya meninggal dunia saat Tiyo masih duduk dibangku sd karena
terserang penyakit jantung. Waktu itu setelah adu mulut dengan bapaknya,
kemudian ibunya mengalami sakit yang luar biasa, hingga nyawanya pun tak bisa
terselamatkan dengan penyakit jantung yang diderita. Bapaknya harus berada
dibalik dinding perawatan jiwa, karena mengalami gangguan jiwa akibat stress
berat setelah bangkrut bisnis yang dijalani. Dengan meninggalkan hutang yang
nominalnya pun tidak sedikit, namun semua bebannya teringankan dengan bantuan
sanak saudaranya. Itulah sebabnya Tiyo mengubur dalam-dalam kenangan masa lalu
bersama bapaknya. Saat ini kebencianlah yang Tiyo rasakan, karena merasa
ditelantarkan akibat ulah bapaknya. Sekalipun Tiyo tak pernah berkunjung ke rumah
sakit jiwa dimana bapaknya masih berjuang untuk hidup. Bahkan untuk menjenguk
dan sekedar melihat kondisi bapaknya saja tidak ada keinginan sama sekali.
Biaya kuliah selama ini didapatkannya dari beasiswa dan juga belas
kasih dari salah seorang dosen di Universitasnya yang mengangkatnya sebagai
anak. Tiyo masih bersyukur atas kebaikan dan anugerah Tuhan dibalik hidupnya
yang pilu.
Tiyo memandangi neneknya yang terbaring di ranjang dimana neneknya
dirawat inap. Fisiknya yang hanya tinggal tulang membuat Tiyo tak tega
melihatnya. Perlahan air mata Tiyo menetes membasahi pipinya. Kedua bibirnya
saling bergigitan menahan isakan agar tak terdengar oleh orang-orang yang masih
terlelap karena begadang semalam untuk menjaga neneknya. Tiyo menyesal akan apa
yang ia lakukan…
"Andai saat itu aku putuskan untuk bicara dengan simbah dan
tidak disibukkan hanya dengan skripsiku, mungkin semua ini tidak akan pernah
terjadi pada simbah gung…padahal simbah hanya ingin bicara denganku, hanya
ingin mendengar suaraku…simbah kangen sama aku…tapi aku…" Ucapnya lirih
dengan menyandarkan kepalanya dibahu Agung.
"Kang…semua rencana Tuhan siapa yang tahu. Sekarang kita hanya
bisa berdo’a dan berharap Tuhan masih menyisipkan nyawa simbah agar masih bisa melihat
kang Tiyo hingga kang Tiyo wisuda dan menikah kelak. Tak perlu disesalkan kang…"
Tiyo kemudian berjalan lunglai menuju mushola rumah sakit. Ingin rasanya dia
adukan segala keluh kesah hidupnya pada Sang Khalik. Ingin rasanya dia
berteriak sekuat tenaga untuk melepaskan beban hidupnya.
Di mushola rumah sakit Tiyo hanya seorang diri, hari masih sangat
dini menjelang subuh, sehingga belum ada jama’ah yang berdatangan. Tiyo
pejamkan matanya dengan kepala tertunduk. Entahlah apa yang ia pikirkan, apakah
biaya perawatan yang jelas tidak sedikit, atau hal lain. Tiyo terlihat lelah
dan lemas.
"Kang...kang
Tiyo mikir apa? Cerita sama Agung kang…masalah biaya simbah ndak usah terlalu
dipikirkan, Agung masih ada tabungan kok…yang penting setelah ini kita masih
bisa kumpul lagi seperti dulu. Kakek juga Alhamdulillah sehat dirumah…kang Tiyo
ndak kepengen pulang dulu lihat kakek…?" Tiyo tak sanggup mendengar
kebaikan Agung yang tulus. Air matanya semakin berderaian. Dipeluknya Agung
yang duduk bersila disampingnya. Agungpun membalas pelukannya dengan lembut dan
kasih sayang layaknya seorang kakak adik.
Suara adzan terdengar bersahutan memecahkan
keheningan dini hari. Satu dua orang sudah terlihat memenuhi mushola rumah sakit yang
berukuran 3x4. Tiyo menjalankan shalat subuh berjama’ah dengan beberapa makmum
yang mengikuti gerakannya.
Tiyo kembali menuju ruangan dimana neneknya dirawat, namun
posisinya masih seperti semula belum siuman. Dia putuskan untuk pulang kerumah,
untuk melihat keadaan kakeknya. Rumah Tiyo sangat sederhana, lantai rumah yang
masih belum berkeramik dengan atap rumah yang sudah berusia tua. Banyak sarang
laba-laba menghiasi sudut-sudut ruangan. Miris Tiyo meratapinya.
Bibir Tiyo saling bergigitan, bergetar saat melihat kakeknya sibuk
menanak nasi dengan badan setengah membungkuk dan badan yang gemetaran, kakek
Tiyo masih berusaha agar nasi buatannya bisa dinikmati istrinya di rumah sakit nanti,
agar rasanya tidak mengecewakan sang istri saat melahapnya. Tiyo hanya
memandangnya dari balik gorden sebagai pemisah antara ruang tengah dengan
dapur. Sebentar-sebentar Tiyo meremas dadanya, sepertinya rasa sakit akan jalan
hidupnya begitu terasa. Skenario Tuhan yang tak kunjung berubah akan nasibnya
semakin lama membuatnya tak tahan.
Tiyo mendekat perlahan, diciumnya punggung tangan kakeknya yang
sedang sibuk mengaduk nasi. Betapa kaget sang kakek dengan kedatangan cucu kesayangannya.
Tiyo kemudian mengambil entong yang masih ada digenggaman tangan kakeknya.
Dengan senyum simpul Tiyo gantikan kakeknya menanak nasi. Dan ini bukan
pekerjaan aneh yang dilakoninya. Bahkan menanak nasi adalah pekerjaan rutin
sejak ia masih duduk dibangku sd, setelah ibunya meninggal dunia.
Mentari semakin menjulang, jalanan mulai
dipadati dengan aktifitas umat. Dengan sabar Tiyo mengandeng tangan kakeknya
dan mengantarnya ke rumah sakit yang kebetulan tidak jauh dari kediamannya.
Sudah ada sejumlah orang yang mengelilingi
neneknya. Namun pandangan yang didapati dari neneknya masih kosong. Tiyo cium
kening dan pipi neneknya, tangan neneknya yang keriput seperti terlihat hanya
berbalut tulang saja dengan selang infus yang menjalar. Sungguh memilukan. Semakin
tak tega Tiyo melihatnya. Kakek Tiyo mengusap kening dan badan istrinya dengan
kain basah. Rasa cinta antara dua insan kini terpancar ditengah-tengah pasangan
yang semakin senja dimakan usia. Tiyo suapi neneknya dengan penuh kasih sayang.
Kadang Tiyo seperti berbincang sendiri, karena neneknya belum bisa membalas
percakapannya. Banyak air mata yang tak sanggup terbendung saat melihat adegan
layaknya tontonan film dramatis. Sungguh keluarga malang yang memprihatinkan.
Beberapa hari ini Tiyo disibukkan dengan
pekerjaannya dirumah. Sepertinya dia sudah sedikit lupa akan skripsi-skripsi
yang masih belum tuntas. Merawat neneknya adalah prioritasnya saat ini. Meski
sudah bisa dibawa pulang, namun belum sepenuhnya keadaan neneknya membaik.
Perlu perawatan intens untuk memulihkan kesehatan neneknya.
Betapa terkejutnya Tiyo dengan kedatangan
seseorang yang tidak diduga sebelumnya. Penampilannya yang lusuh dengan
berlumuran oli ditangannya membuatnya segan berjabat tangan. Tiyo mempersilahkan
pak Gunawan memasuki rumahnya yang sangat sederhana. Tiyo suguhkan minuman dan
juga makanan ringan seadanya.
"Kenapa
kamu tidak pernah kabari bapak, jika ternyata nenek kamu sakit...?" Tanya
pak Gunawan dengan nada sedikit kecewa. Sedikitpun Tiyo tak angkat bicara.
"Bapak
ingin kamu kembali ke Malang lagi..." Tegas pak Gun
"Mana
mungkin saya tega meninggalkan simbah dan kakek saya pak...saya akan kembali,
tapi ndak sekarang..." Jawab Tiyo.
"Kapan...?
Nunggu semuanya usai...? Tiyo..bapak akui langkah yang kamu ambil tidaklah
mudah, apalagi jika harus meninggalkan kakek nenek dengan kondisi mereka berdua
seperti saat ini. Tapi yakinlah semua ini demi mereka, satu-satunya keluarga
yang kamu punya saat ini. Bapak juga tidak mengharapkan apapun dari kamu,
kecuali keberhasilan kamu yang sudah kamu perjuangkan...dan bapak yakin kamu
mampu mengambil keputusan dengan baik..." Tak pantang pak Gunawan
memberikan motivasi kepada Tiyo. Tiyo sudah dianggapnya sebagai anak sendiri,
apalagi sang istri yang sangat mengagumi kecerdasaan Tiyo. Sehingga berapa pun
banyaknya biaya kuliah yang dikeluarkan untuk Tiyo tak jadi masalah.
"Pergilah
Tiyo...selesaikan apa yang seharusnya kamu selesaikan. Semua akan baik-baik
saja disini. Simbah dan kakek kan juga kepengen lihat kamu cepet lulus."
Sela kakeknya dengan nada terbata ditengah-tengah pembicaraan.
Dengan sikap sigap Tiyo peluk erat kakek yang
berdiri di belakangnya. Meski langkah Tiyo untuk meninggalkan kakek neneknya
sangat berat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Tiyo mempunyai tekat untuk
menjadi sarjanawan dengan nilai memuaskan dan semua itu Tiyo lakukan demi
orang-orang yang sudah bersedia menjadi tiang penguat bagi perjalanan hidupnya.
Pelik memang dalam mengais hidup yang kita
sendiri tak tahu alur akan akhir kehidupan. Namun sejauh kaki melangkah pasti
akan ada akhir meski dalam gulatan misteri. Hidup adalah tantangan, hidup
adalah pilihan. Meski semua butuh perkiraan yang kadang hanya mengundang asa. Jika
kadang hampa yang dirasa hanya ada keyakinan sebagai penguat bahwa suatu saat
akan ada timbal baliknya.
Saat ini Tiyo berada dimana ujian sedang
membawanya berada pada posisi yang tiada seorangpun mengira. Bahkan dirinya
sendiri.
Siang malam Tiyo mulai bergulat dengan
skripsinya. Bahkan malam pun bagaikan siang, hingga lapar kadang lewat dengan
kesibukan berpikirnya. Setiap detik hanya dia gunakan untuk menyempurnakan
setiap kekurangan-kekurangan dari skripsinya. Tiada sedetikpun waktu yang
sia-sia. Dan Tiyo hampir saja melewatkan masa yang benar-benar mengecewakan,
namun karena dukungan dari pak Gunawan juga orang-orang tercintanya, hingga
akhirnya dia mampu menyelesaikan tugas akhir dengan baik.
Kini Tiyo harus berhadapan dengan beberapa
dosen penguji skripsi untuk dimintai keterangan dari skripsi yang telah
dibuatnya. Masa-masa mendebarkan bagi Tiyo dan segenap teman-temannya yang saat
itu juga menjalani ujian skripsi. Tatapan para penguji yang kadang membuat
konsentrasi para mahasiswa kabur. Atau berbagai pertanyaan dosen yang kadang
tak tertebak oleh mahasiswa. Hingga kacau balau yang membuat para mahasiswa stress saat
menghadapi ujian. Tiyo pun merasakan saat-saat itu. Peluh dingin bercucuran
disekeliling kening, hembusan nafas yang mulai tak beraturan sedikit menganggu
konsentrasi dalam berpikir. Kini hanya bantuan Tuhan yang diharap datang sebagai
mukjizat yang tak terduga. Tiyo akhirnya melewatkan masa-masa menegangkan itu.
Dengan mengucap syukur kemudian Tiyo bersalaman dengan dosen-dosen pengujinya
saat diperkenankan meninggalkan kelas. Meski usai, namun ini bukan akhir dari
segalanya. Karena bagaimanapun perjalanan hidup yang akan dilalui pasti akan semakin
menantang.
Dua bulan pun berlalu. Ujian yang pernah dijalaninya kini hanya
sebagai history suka duka. Banyak pahit manis yang dijalani saat menyandang
status sebagai mahasiswa. Dan kini semuanya memang akan berakhir.
Tiyo berjalan menyusuri kampus tercintanya. Dengan mengenakan hem
putih dan celana kain hitam, ditiliknya orang-orang lalu lalang memadati area
kampus. Banyak orang tua juga sanak keluarga masing-masing yang berdatangan.
Kini Tiyo hanya tersenyum simpul memperhatikan ulah teman-teman yang parasnya
memancarkan kebahagiaan.
"Kang gimana rasanya sebentar lagi mau
jadi sarjanawan? Pasti senang ya kang?" Dengan nada polos Agung bertanya
seolah-olah dirinya merasakan kebahagiaan yang sama. Tiyo kemudian merangkul
Agung. Berharap Agung merasakan kebahagian yang saat ini juga dirasakannya.
Meski tak sebahagia teman lainnya yang mengandeng tangan orang tuanya sebagai
wali. Namun kebahagian yang Tiyo rasa adalah kebahagian syukur. Syukur yang tiada
kira atas anugrah Sang Kuasa.
Semua mahasiswa memasuki aula yang disediakan.
Beribu-ribu mahasiswa nampak bahagia dengan kostum wisudanya. Satu persatu
mahasiswa berkeliling mengelilingi audiens dengan menggunakan toga saat nama mereka
satu persatu disebutkan. Dan betapa terkejutnya ketika disebut-sebut bahwa Tiyo
menyandang sebagai mahasiswa terbaik dari sekian ribu mahasiswa lulusannya. Perasaan
berkecamuk bahagia bercampur sedih yang tak mampu mewakilkan apa yang dirasanya.
Perlahan langkah Tiyo tertatih saat dia harus maju kedepan beribu pasang mata untuk
memberikan sambutan sebagai peraih nilai terbaik. Suasana ricuh menjadi tenang
sesaat saat kata perkata keluar dari mulut Tiyo. Air mata yang juga tak bisa
terbendungkan saat dia mulai mengingat atas perjuangan hidup yang selama ini
kerap membuatnya letih. Dan kini Tiyo benar-benar merasakan kebahagiaan.
Kebahagiaan setelah jerih payah yang dijalaninya.
"Agung Pambudi...dia adalah teman, adik
dan juga kakak buat saya. Predikat A ini adalah untuk kamu..."
Suara Tiyo menahan isakan. Dengan serentak beribu mata tertuju kepada Agung,
saat Tiyo menyebut dan juga menunjuk kearahnya. Layaknya seorang yang terkenal
Agung berdiri kemudian menundukkan sedikit kepalanya sebagai rasa hormat.
Pelukan yang diberikan pak Gunawan kepada Tiyo adalah pelukan hangat bak
seorang bapak dengan anaknya. Dan semuanya benar-benar terharu saat pak Gunawan
sedikit bertutur tentang kisah jatuh bangunnya Tiyo dalam menjalani hidupnya.
Tiyo kemudian bersujud panjang didepan para dosen juga audiens, sujud syukur kepada
Tuhan bahwa saat ini kebahagiaan itu mampu dirasanya. Bahwa tak ada yang
sia-sia dari kepahitan hidup yang dirasanya. Dan inilah akhir dari jerih payah
seorang mahasiswa dengan segenap tirakatnya. Merangkai kembali serpihan
kebahagian yang pernah pupus. Berharap saat ini, esok, lusa dan selamanya
kebahagiaan akan terus berada pada pihaknya sebagai pelipur lara yang pernah dirasa.
THE END.....
Hidup enak dan layak adalah pilihan semua orang, namun yang harus kita ingat adalah bahwa kita punya Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan Yang memiliki cinta yang tak berujung pada setiap hamba-Nya. cintaNya kadang disajikan dalam sebuah suka duka yang kita jalani. untuk itu sedikit pelajaran dari cerpen diatas yang bisa kita jadikan sebuah himbauan, bahwasanya jagan sampai kita terlena dengan suka saat kita merasa, dan juga jagan larut dengan duka ketika kita merasa dilanda, karena semua berbuah cinta-Nya...
semoga kita tergolong hamba yang selalu diberi petunjuk....Amiiin Ya Robbalalamiin...