Selasa, 13 Mei 2014

SAAT CINTA MULAI MERASUK

Tak sejauh yang ku angan
Tak seindah yang ku bayang
Saat serdadu cinta mulai merasuk
Dalam dekapan penjara qalbu
Sedang ku Hawa…

Kini cinta mulai terpetakkan
Dengan cinta yang tak tahu harus memulainya
Hanya lamunan…
Hanya anganan…

Dekapan hangat yang ku inginkan
Petuah yang ku rindukan
Kasih sayang yang ku dambakan
Semua ku bisikkan....
Pada Mu...
Tuhan...


MY ADVENTURE @ PAPUMA BEACH
21-03-2014
Kapanlagi.com (selagi masih ada kesempatan untuk melihat keindahan dunia dari secuil ciptaan Nya)

Salah satu tujuan yang sudah dilist untuk petualangan selanjutnya. Sejak lama nama Papuma Beach menjadi incaran saya untuk dikunjungi. Dan alkhamdulillah setelah sekian lama merencanakan akhirnya tercapai juga berkunjung kesana. Bersama teman-teman PKL (Athok, Faishal, Fathoni, Rizkhy, Ririhen, Halihem, Ninihes, Lupitha). Kenangan bersama kalian tak akan pernah terhapus. So sweet…

Ya…setelah selama 2 bulan kita focus pada acara PKL, akhirnya kita lepas rasa jenuh itu di Pantai Papuma. Perjalanan sebelumnya adalah perjalanan mengesankan. Dari kita diterminal, naik bis ke Probolinggo, hingga sampai dikediaman Om Fathoni (Jember). Ndak banyak cerita sih, tapi cukup untuk dijadikan topic perbincangan kita. Hehe…

He…gimana kabar kalian???

Dengan kalian saya merasa punya saudara baru yang asyik untuk diajak berpetualang.

22-03-2014, Matahari pagi kota Jember terlihat begitu mendukung perjalanan kita. Dan Alhamdulillah hingga akhir tak ada halangan apapun. Dari berkeliling ke kota sebelah (Lumajang), kata om Fathoni itu ada pabrik gula terbesar, kurang tau juga terbesar se apa…Bangunan kuno masih berdiri tegak disana, suasana area yang kita kelilingi juga terkesan jadul. Tapi asyik juga langka…

Setelah selesai round of sebagian Lumajang, kita santap menu sarapan pagi, yang sudah tersedia (makasih banyak om beserta keluarga J)

So tacap deh kita ke tujuan utama “Papuma Beach”. Perjalanannya lumayan jauh, yah…cukup lah untuk memejamkan mata dan berlabuh ke dunia impian. Tapi sayanglah…ganti tempat berlabuh untuk memejamkan mata bukan termasuk tujuan utama kita. So…celotehan aja dimobil…

Inilah saat yang ditunggu, ketika kita sampai di Pantai Papuma, sambutan pertama yang diberikan adalah dari si kecil yaitu monyet-monyet yang berkeliaran di jalanan area parkir. Banyak sekali monyet-monyet liar disana, untung saja monyetnya tidak bandel.
Setelah kita mendapatkan tempat yang pas untuk parkir, langsung saja kita terjun ke pantai tanpa basa basi…hem…serasa masih muda mudi…(hehe)

Subkhanallah…indah sekali. Padahal pantai adalah kunjungan saya setiap kali saya pulang kampung (Pacitan), tapi setiap melihat pantai pasti ada rasa nyaman dan kagum dengan indahnya ciptaan Sang Khaliq. Tak pernah bosen rasanya untuk berkeliling pantai.
Dengan senyum sang surya kita bercanda tawa mencairkan panas yang menyengat. Seakan kita lupa jika berada dibawah terik mentari. Ya…ndak apa-apalah sudah sering berjemur, sudah berkawan dengan mentari siang bolong.


Gulungan ombak menjadikan tawa kita semakin indah. Gunung Kajang si Icon Papuma dan pasir pantai membuat indah setiap jepretan dari pose kita. Satu lagi yang tidak bisa dilupakan saat kita dipeluiti oleh satpam, karena langkah kaki kita terlalu bersemangat, hingga ndak terasa kita berada ditengah pantai. Untung saja ombak semakin surut. Jadi kita bisa menapakkan kaki di bebatuan ditengah pantai. Melihat binatang pantai yang lincah berseluncur di perairan. Dan inilah hasil dari my adventure bersama teman-teman…    

Di tengah pantai, ketika ombak surut


nongkrong ditengah pantai

Bintang ular laut

Pose dulu sebelum meninggalkan pantai...






Sabtu, 10 Mei 2014

CAHAYA PELIPUR LARA
Semilir angin berayun, menggerakkan pohon-pohon tinggi di sekitar halaman. Rumput-rumput yang tak terlihat subur karena gelapnya malam. Suara erikan jangkring bak alunan musik melow mengiringi panjang perjalanan mimpi dalam nyenyak tidurnya. Kini semua insan terlelap dalam kisah bawah sadar. Berharap esok pagi datang dengan sapaan mentari yang cerah. Lupakan kepenatan yang pernah terjadi, gantikan suasana hati hampa menjadi ceria. Dan kini malam menjadi singgasana damai setiap umat.
Dengan setengah sadar Tiyo memicingkan sebelah mata, berusaha melihat jelas jarum jam yang menunjukkan pukul 01.45 WIB. Rasa malas masih mengandrungi segenap jiwanya, raganya pun berusaha mengumpulkan serpihan nyawa yang masih belum genap setelah terbuai dalam tidur lelap. Setumpuk arsip tertumpuk rapi diatas meja, memaksanya entah harus tersenyum atau sebaliknya saat bertatap kembali. Dan Tiyo tak pantang melawan nafsu, di usap-usap kedua matanya namun ternyata tanpa di sadarinya Tiyo masih terbawa kembali dalam kenikmatan kelabu hingga terdengar suara alarm berdering keras tepat diatas kepala menunjukkan pukul 02.00 WIB. Kini nafsunya benar-benar terusir, kedua matanya terbelalak, gerakannya cepat menuju kamar mandi dengan setengah sempoyongan. Tiyo mulai mengambil wudlu dan melaksanakan shalat tengah malam. Dia nikmati setiap gerakan dan lafadz-lafadz suci, meski tak seratus persen khusuk namun setidaknya usahanya ada untuk itu. Percaya bahwa Tuhan Maha Tahu.
Hampir kurang lebih setengah jam Tiyo bermunajat kepada Tuhan. Kini mulai didekatinya arsip-arsip yang telah lama menunggu sapaannya. Revisi-revisi yang harus di perbaharui demi kesempurnaan skripsi yang akan menjadikan Tiyo seorang sarjanawan. Lulus dengan nilai kumplot adalah asanya. Tapi sepertinya sudah berkurang usahanya untuk itu, meski motifasinya sangat tinggi. Sering kali lelah dan jenuh menghampirinya, apalagi dengan kerap kali revisi yang harus dia lakukan. Namun dibalik lelahnya fikiran dan tenaganya ada beberapa orang disana yang menanti kelulusannya, meski dengan nilai seadanya.
            "Tiyo...gimana sudah konsultasikan kembali revisi yang kemaren?" Tanya seseorang yang ternyata Tiyo mengenalnya. Pak Gunawan, beliau adalah orang paling berjasa dalam hidupnya. Tiyo menundukkan kepala sambil menjabat tangan dan mencium punggung tangan pak Gun.
            "Belum pak...semalam masih belum mendapatkan ilham...hehe..." Jawabnya dengan nada sedikit bercanda.
Akhirnya pak Gun sempatkan untuk berbincang sejenak dengan Tiyo. Beliau koreksi beberapa skripsi yang belum sesuai, sedikit beliau berikan masukan sebagai penyempurna isi dari skripsinya. Tiyo mengambil tema tentang aneka budaya khususnya keragaman dalam beragama di Indonesia, sehingga sedikit membutuhkan pikiran dan tenaga ekstra untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, apalagi dengan skripsi bilingual. Namun semua di jalaninya sebisa mungkin, demi hasil yang di harapkan.
            Tit...tit...tit...tit...Suara ponsel berdering, sepintas terlihat pesan atas nama Agung P.
            Simbah pengen tlpn km kang,kangen ktny...Pesannya singkat.
            Bilng ke simbah nanti saja aku yg tlpn, skarng msh dikamps...Balas Tiyo.
Segera Tiyo bereskan buku-buku yang berserakan dimeja perpustakaan. Tumpukan buku yang di pinjam sebagai data refrensi di kembalikan ke rak dengan rapi. Kemudian langkahnya cepat bergerak menuju kantin perpustakaan demi mengisi perut yang mulai tak bisa diajak kompromi. Dengan lauk tahu dan krupuk serta menu oseng-oseng kangkung di lahapnya dengan rasa nikmat. Menu yang tak banyak merogoh kantong bagi mahasiswa sepertinya yang hidup dengan serba pas-pasan.
Tiyo pulang di rumah kostnya bersama dengan salah seorang teman. Rencananya semalaman mau lemburkan tugas-tugas yang rasanya sudah agak bosan untuk menyentuh kembali. Kini Tiyo masih asyik bersantai sebelum kembali berkutat dengan tumpukan arsip tugasnya.
            Tit...tit..tit...No tlpn yang anda tuju berada diluar jangkauan...
Berulang-ulang Tiyo mencoba menghubungi Agung, tetangga rumah di desanya yang diamanahi untuk menjaga nenek kakeknya di desa. Agung sudah seperti bagian dari keluarga Tiyo, meski Agung mempunyai kesibukan lain namun dia bersedia untuk menjaga dan merawat kakek nenek Tiyo selama Tiyo mengenyam dunia pendidikan di Kota Apel tepatnya di Malang.
Selang beberapa menit, ponsel Tiyo berdering. "Assalamu’alaikum...kang Tiyo...simbah kang..." Terdengar suara Agung panik.
            "Simbah kenapa Gung?"
            "Simbah ada dirumah sakit kang..." Jawab Agung terbata.
            "Gung...kamu jangan bercanda. Kenapa bisa?"
            "Tadi pas habis dari rumah, waktu simbah minta tolong buat sms kang Tiyo. Emperan rumah licin sepertinya kang, karena tadi pagi hujan turun sangat lebat disini. Tiba-tiba simbah terpleset. Dan sekarang masih belum sadar juga kang..." Jelas Agung dengan nada gemetaran.
Tanpa berpikir panjang Tiyo segera menghubungi travel yang sekiranya masih kosong untuk satu penumpang. Sore hari dipastikan bus menuju Pacitan sudah tidak ada yang berangkat. Hanya travel satu-satunya kendaraan yang masih bisa diandalkan dan itupun masih berangkat pada pukul 21.00 WIB nanti. 
            "Tiyo…yang sabar ya…ujian Tuhan itu pasti ada hikmahnya" Dengan tersenyum meski agak memaksa Tiyo menanggapi petuah temannya. Salah satu teman dekatnya yang mengetahui lika-liku kehidupan Tiyo.
Tiyo adalah seorang yang sangat sayang dengan orang-orang disekitarnya. Keluarga, teman, dan hidupnya tak ada yang sedikitpun disia-siakan. Baginya apa yang ia punya saat ini adalah apa yang harus diperjuangkan. Ibunya meninggal dunia saat Tiyo masih duduk dibangku sd karena terserang penyakit jantung. Waktu itu setelah adu mulut dengan bapaknya, kemudian ibunya mengalami sakit yang luar biasa, hingga nyawanya pun tak bisa terselamatkan dengan penyakit jantung yang diderita. Bapaknya harus berada dibalik dinding perawatan jiwa, karena mengalami gangguan jiwa akibat stress berat setelah bangkrut bisnis yang dijalani. Dengan meninggalkan hutang yang nominalnya pun tidak sedikit, namun semua bebannya teringankan dengan bantuan sanak saudaranya. Itulah sebabnya Tiyo mengubur dalam-dalam kenangan masa lalu bersama bapaknya. Saat ini kebencianlah yang Tiyo rasakan, karena merasa ditelantarkan akibat ulah bapaknya. Sekalipun Tiyo tak pernah berkunjung ke rumah sakit jiwa dimana bapaknya masih berjuang untuk hidup. Bahkan untuk menjenguk dan sekedar melihat kondisi bapaknya saja tidak ada keinginan sama sekali.
Biaya kuliah selama ini didapatkannya dari beasiswa dan juga belas kasih dari salah seorang dosen di Universitasnya yang mengangkatnya sebagai anak. Tiyo masih bersyukur atas kebaikan dan anugerah Tuhan dibalik hidupnya yang pilu.
Tiyo memandangi neneknya yang terbaring di ranjang dimana neneknya dirawat inap. Fisiknya yang hanya tinggal tulang membuat Tiyo tak tega melihatnya. Perlahan air mata Tiyo menetes membasahi pipinya. Kedua bibirnya saling bergigitan menahan isakan agar tak terdengar oleh orang-orang yang masih terlelap karena begadang semalam untuk menjaga neneknya. Tiyo menyesal akan apa yang ia lakukan…
"Andai saat itu aku putuskan untuk bicara dengan simbah dan tidak disibukkan hanya dengan skripsiku, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi pada simbah gung…padahal simbah hanya ingin bicara denganku, hanya ingin mendengar suaraku…simbah kangen sama aku…tapi aku…" Ucapnya lirih dengan menyandarkan kepalanya dibahu Agung.
"Kang…semua rencana Tuhan siapa yang tahu. Sekarang kita hanya bisa berdo’a dan berharap Tuhan masih menyisipkan nyawa simbah agar masih bisa melihat kang Tiyo hingga kang Tiyo wisuda dan menikah kelak. Tak perlu disesalkan kang…" Tiyo kemudian berjalan lunglai menuju mushola rumah sakit. Ingin rasanya dia adukan segala keluh kesah hidupnya pada Sang Khalik. Ingin rasanya dia berteriak sekuat tenaga untuk melepaskan beban hidupnya.
Di mushola rumah sakit Tiyo hanya seorang diri, hari masih sangat dini menjelang subuh, sehingga belum ada jama’ah yang berdatangan. Tiyo pejamkan matanya dengan kepala tertunduk. Entahlah apa yang ia pikirkan, apakah biaya perawatan yang jelas tidak sedikit, atau hal lain. Tiyo terlihat lelah dan lemas.
            "Kang...kang Tiyo mikir apa? Cerita sama Agung kang…masalah biaya simbah ndak usah terlalu dipikirkan, Agung masih ada tabungan kok…yang penting setelah ini kita masih bisa kumpul lagi seperti dulu. Kakek juga Alhamdulillah sehat dirumah…kang Tiyo ndak kepengen pulang dulu lihat kakek…?" Tiyo tak sanggup mendengar kebaikan Agung yang tulus. Air matanya semakin berderaian. Dipeluknya Agung yang duduk bersila disampingnya. Agungpun membalas pelukannya dengan lembut dan kasih sayang layaknya seorang kakak adik.     
Suara adzan terdengar bersahutan memecahkan keheningan dini hari. Satu dua orang sudah terlihat memenuhi mushola rumah sakit yang berukuran 3x4. Tiyo menjalankan shalat subuh berjama’ah dengan beberapa makmum yang mengikuti gerakannya.
Tiyo kembali menuju ruangan dimana neneknya dirawat, namun posisinya masih seperti semula belum siuman. Dia putuskan untuk pulang kerumah, untuk melihat keadaan kakeknya. Rumah Tiyo sangat sederhana, lantai rumah yang masih belum berkeramik dengan atap rumah yang sudah berusia tua. Banyak sarang laba-laba menghiasi sudut-sudut ruangan. Miris Tiyo meratapinya.
Bibir Tiyo saling bergigitan, bergetar saat melihat kakeknya sibuk menanak nasi dengan badan setengah membungkuk dan badan yang gemetaran, kakek Tiyo masih berusaha agar nasi buatannya bisa dinikmati istrinya di rumah sakit nanti, agar rasanya tidak mengecewakan sang istri saat melahapnya. Tiyo hanya memandangnya dari balik gorden sebagai pemisah antara ruang tengah dengan dapur. Sebentar-sebentar Tiyo meremas dadanya, sepertinya rasa sakit akan jalan hidupnya begitu terasa. Skenario Tuhan yang tak kunjung berubah akan nasibnya semakin lama membuatnya tak tahan.
Tiyo mendekat perlahan, diciumnya punggung tangan kakeknya yang sedang sibuk mengaduk nasi. Betapa kaget sang kakek dengan kedatangan cucu kesayangannya. Tiyo kemudian mengambil entong yang masih ada digenggaman tangan kakeknya. Dengan senyum simpul Tiyo gantikan kakeknya menanak nasi. Dan ini bukan pekerjaan aneh yang dilakoninya. Bahkan menanak nasi adalah pekerjaan rutin sejak ia masih duduk dibangku sd, setelah ibunya meninggal dunia.
Mentari semakin menjulang, jalanan mulai dipadati dengan aktifitas umat. Dengan sabar Tiyo mengandeng tangan kakeknya dan mengantarnya ke rumah sakit yang kebetulan tidak jauh dari kediamannya.
Sudah ada sejumlah orang yang mengelilingi neneknya. Namun pandangan yang didapati dari neneknya masih kosong. Tiyo cium kening dan pipi neneknya, tangan neneknya yang keriput seperti terlihat hanya berbalut tulang saja dengan selang infus yang menjalar. Sungguh memilukan. Semakin tak tega Tiyo melihatnya. Kakek Tiyo mengusap kening dan badan istrinya dengan kain basah. Rasa cinta antara dua insan kini terpancar ditengah-tengah pasangan yang semakin senja dimakan usia. Tiyo suapi neneknya dengan penuh kasih sayang. Kadang Tiyo seperti berbincang sendiri, karena neneknya belum bisa membalas percakapannya. Banyak air mata yang tak sanggup terbendung saat melihat adegan layaknya tontonan film dramatis. Sungguh keluarga malang yang memprihatinkan.
Beberapa hari ini Tiyo disibukkan dengan pekerjaannya dirumah. Sepertinya dia sudah sedikit lupa akan skripsi-skripsi yang masih belum tuntas. Merawat neneknya adalah prioritasnya saat ini. Meski sudah bisa dibawa pulang, namun belum sepenuhnya keadaan neneknya membaik. Perlu perawatan intens untuk memulihkan kesehatan neneknya.
Betapa terkejutnya Tiyo dengan kedatangan seseorang yang tidak diduga sebelumnya. Penampilannya yang lusuh dengan berlumuran oli ditangannya membuatnya segan berjabat tangan. Tiyo mempersilahkan pak Gunawan memasuki rumahnya yang sangat sederhana. Tiyo suguhkan minuman dan juga makanan ringan seadanya.
            "Kenapa kamu tidak pernah kabari bapak, jika ternyata nenek kamu sakit...?" Tanya pak Gunawan dengan nada sedikit kecewa. Sedikitpun Tiyo tak angkat bicara.
            "Bapak ingin kamu kembali ke Malang lagi..." Tegas pak Gun
            "Mana mungkin saya tega meninggalkan simbah dan kakek saya pak...saya akan kembali, tapi ndak sekarang..." Jawab Tiyo.
            "Kapan...? Nunggu semuanya usai...? Tiyo..bapak akui langkah yang kamu ambil tidaklah mudah, apalagi jika harus meninggalkan kakek nenek dengan kondisi mereka berdua seperti saat ini. Tapi yakinlah semua ini demi mereka, satu-satunya keluarga yang kamu punya saat ini. Bapak juga tidak mengharapkan apapun dari kamu, kecuali keberhasilan kamu yang sudah kamu perjuangkan...dan bapak yakin kamu mampu mengambil keputusan dengan baik..." Tak pantang pak Gunawan memberikan motivasi kepada Tiyo. Tiyo sudah dianggapnya sebagai anak sendiri, apalagi sang istri yang sangat mengagumi kecerdasaan Tiyo. Sehingga berapa pun banyaknya biaya kuliah yang dikeluarkan untuk Tiyo tak jadi masalah.
            "Pergilah Tiyo...selesaikan apa yang seharusnya kamu selesaikan. Semua akan baik-baik saja disini. Simbah dan kakek kan juga kepengen lihat kamu cepet lulus." Sela kakeknya dengan nada terbata ditengah-tengah pembicaraan.
Dengan sikap sigap Tiyo peluk erat kakek yang berdiri di belakangnya. Meski langkah Tiyo untuk meninggalkan kakek neneknya sangat berat, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Tiyo mempunyai tekat untuk menjadi sarjanawan dengan nilai memuaskan dan semua itu Tiyo lakukan demi orang-orang yang sudah bersedia menjadi tiang penguat bagi perjalanan hidupnya.
Pelik memang dalam mengais hidup yang kita sendiri tak tahu alur akan akhir kehidupan. Namun sejauh kaki melangkah pasti akan ada akhir meski dalam gulatan misteri. Hidup adalah tantangan, hidup adalah pilihan. Meski semua butuh perkiraan yang kadang hanya mengundang asa. Jika kadang hampa yang dirasa hanya ada keyakinan sebagai penguat bahwa suatu saat akan ada timbal baliknya.
Saat ini Tiyo berada dimana ujian sedang membawanya berada pada posisi yang tiada seorangpun mengira. Bahkan dirinya sendiri.    
Siang malam Tiyo mulai bergulat dengan skripsinya. Bahkan malam pun bagaikan siang, hingga lapar kadang lewat dengan kesibukan berpikirnya. Setiap detik hanya dia gunakan untuk menyempurnakan setiap kekurangan-kekurangan dari skripsinya. Tiada sedetikpun waktu yang sia-sia. Dan Tiyo hampir saja melewatkan masa yang benar-benar mengecewakan, namun karena dukungan dari pak Gunawan juga orang-orang tercintanya, hingga akhirnya dia mampu menyelesaikan tugas akhir dengan baik.
Kini Tiyo harus berhadapan dengan beberapa dosen penguji skripsi untuk dimintai keterangan dari skripsi yang telah dibuatnya. Masa-masa mendebarkan bagi Tiyo dan segenap teman-temannya yang saat itu juga menjalani ujian skripsi. Tatapan para penguji yang kadang membuat konsentrasi para mahasiswa kabur. Atau berbagai pertanyaan dosen yang kadang tak tertebak oleh mahasiswa. Hingga kacau balau yang membuat para mahasiswa stress saat menghadapi ujian. Tiyo pun merasakan saat-saat itu. Peluh dingin bercucuran disekeliling kening, hembusan nafas yang mulai tak beraturan sedikit menganggu konsentrasi dalam berpikir. Kini hanya bantuan Tuhan yang diharap datang sebagai mukjizat yang tak terduga. Tiyo akhirnya melewatkan masa-masa menegangkan itu. Dengan mengucap syukur kemudian Tiyo bersalaman dengan dosen-dosen pengujinya saat diperkenankan meninggalkan kelas. Meski usai, namun ini bukan akhir dari segalanya. Karena bagaimanapun perjalanan hidup yang akan dilalui pasti akan semakin menantang.
Dua bulan pun berlalu. Ujian yang pernah dijalaninya kini hanya sebagai history suka duka. Banyak pahit manis yang dijalani saat menyandang status sebagai mahasiswa. Dan kini semuanya memang akan berakhir.
Tiyo berjalan menyusuri kampus tercintanya. Dengan mengenakan hem putih dan celana kain hitam, ditiliknya orang-orang lalu lalang memadati area kampus. Banyak orang tua juga sanak keluarga masing-masing yang berdatangan. Kini Tiyo hanya tersenyum simpul memperhatikan ulah teman-teman yang parasnya memancarkan kebahagiaan.
"Kang gimana rasanya sebentar lagi mau jadi sarjanawan? Pasti senang ya kang?" Dengan nada polos Agung bertanya seolah-olah dirinya merasakan kebahagiaan yang sama. Tiyo kemudian merangkul Agung. Berharap Agung merasakan kebahagian yang saat ini juga dirasakannya. Meski tak sebahagia teman lainnya yang mengandeng tangan orang tuanya sebagai wali. Namun kebahagian yang Tiyo rasa adalah kebahagian syukur. Syukur yang tiada kira atas anugrah Sang Kuasa.
Semua mahasiswa memasuki aula yang disediakan. Beribu-ribu mahasiswa nampak bahagia dengan kostum wisudanya. Satu persatu mahasiswa berkeliling mengelilingi audiens dengan menggunakan toga saat nama mereka satu persatu disebutkan. Dan betapa terkejutnya ketika disebut-sebut bahwa Tiyo menyandang sebagai mahasiswa terbaik dari sekian ribu mahasiswa lulusannya. Perasaan berkecamuk bahagia bercampur sedih yang tak mampu mewakilkan apa yang dirasanya. Perlahan langkah Tiyo tertatih saat dia harus maju kedepan beribu pasang mata untuk memberikan sambutan sebagai peraih nilai terbaik. Suasana ricuh menjadi tenang sesaat saat kata perkata keluar dari mulut Tiyo. Air mata yang juga tak bisa terbendungkan saat dia mulai mengingat atas perjuangan hidup yang selama ini kerap membuatnya letih. Dan kini Tiyo benar-benar merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan setelah jerih payah yang dijalaninya.

"Agung Pambudi...dia adalah teman, adik dan juga kakak buat saya. Predikat A ini adalah untuk kamu..." Suara Tiyo menahan isakan. Dengan serentak beribu mata tertuju kepada Agung, saat Tiyo menyebut dan juga menunjuk kearahnya. Layaknya seorang yang terkenal Agung berdiri kemudian menundukkan sedikit kepalanya sebagai rasa hormat. Pelukan yang diberikan pak Gunawan kepada Tiyo adalah pelukan hangat bak seorang bapak dengan anaknya. Dan semuanya benar-benar terharu saat pak Gunawan sedikit bertutur tentang kisah jatuh bangunnya Tiyo dalam menjalani hidupnya. Tiyo kemudian bersujud panjang didepan para dosen juga audiens, sujud syukur kepada Tuhan bahwa saat ini kebahagiaan itu mampu dirasanya. Bahwa tak ada yang sia-sia dari kepahitan hidup yang dirasanya. Dan inilah akhir dari jerih payah seorang mahasiswa dengan segenap tirakatnya. Merangkai kembali serpihan kebahagian yang pernah pupus. Berharap saat ini, esok, lusa dan selamanya kebahagiaan akan terus berada pada pihaknya sebagai pelipur lara yang pernah dirasa. 

THE END.....

Hidup enak dan layak adalah pilihan semua orang, namun yang harus kita ingat adalah bahwa kita punya Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan Yang memiliki cinta yang tak berujung pada setiap hamba-Nya. cintaNya kadang disajikan dalam sebuah suka duka yang kita jalani. untuk itu sedikit pelajaran dari cerpen diatas yang bisa kita jadikan sebuah himbauan, bahwasanya jagan sampai kita terlena dengan suka saat kita merasa, dan juga jagan larut dengan duka ketika kita merasa dilanda, karena semua berbuah cinta-Nya...
semoga kita tergolong hamba yang selalu diberi petunjuk....Amiiin Ya Robbalalamiin... 

Selasa, 01 April 2014

Sekelumit Pelajaran Berharga yang Remeh

Asslamu’alaikum Wr.Wb…

Semoga kita tergolong hamba yang selalu mencoba memetik hikmah dengan selalu bersyukur terhadap nikmat Allah meski sekecil apapun. Insya Allah…

Banyak sekali nikmat Allah yang diturunkan-Nya dari hal teremeh yang kadang kita khilaf, bahwa apa yang terjadi pada kita terdapat nikmat Allah yang sangat berharga…

Pagi tadi kurang lebih pukul 02.30 dini hari ketika saya bangun untuk menjalankan sholat malam. Disitu saya merasakan nikmat Allah yang sering saya alami tapi baru saya sadari. Alkisah ketika saya mengambil wudlu dan menunaikan shalat malam Alhamdulillah berjalan dengan lancar. Dan dibeberapa rakaat yang saya jalani tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang menganjal diperut….tiba-tiba…”Bussss” dengan suara ngebas Alhamdulillah saya kentut (maaf agak jorok dan tidak ada sensor…hehe). Insya Allah tidak menganggu siapapun karena pada saat itu rekan-rekan saya masih terjaga. Kemudian saya ambil wudlu lagi. Dan meneruskan shalat saya. Ketika saya melanjutkan sholat lagi setelah salam, subkhanallah ternyata kentut saya masih lanjut…saya diam beberapa saat sembari berdo’a seusai shalat. Setelah berdo’a saya masih terdiam, karena perut saya masih merasa sedikit tidak enak, kemudian saya menunggu barang kali ada suara susulan dari perut saya. Tapi hingga beberapa menit saya menunggu tidak ada susulan. Saya juga sudah merasakan perut saya lumayan enakan. Lalu saya ambil wudlu yang ketiga kalinya untuk shalat witir. Dan tanpa saya sangka Alhamdulilah ketika itu setelah saya salam, kemudian udara yang ada diperut saya kembali lagi bersuara (hehehe). Dan lagi-lagi si udara keluar ketika saya selesai salam. Subkhanallah…begitu Allah menurunkan nikmat-Nya dari hal teremeh sekecil apapun.

Saya pernah mendengar jika ketika kita menjalankan shalat kemudian sering kali kita merasakan ragu-ragu antara kentut atau tidak adalah gangguan setan. Karena setan mencoba menganggu kita dari celah manapun, termasuk ketika kita sedang beribadah kepada Allah.

Dari sepenggal cerita yang saya alami. Coba kita ambil hikmahnya, bahwa kentut adalah sebuah penyakit jika kita tidak bias mengeluarkannya. Dan kita mencoba untuk mengalahkan makhluk Allah yang bernama setan dengan bersyukur dan berfikir positif jika memang kentut itu gangguan usilnya. Melalui gangguan itulah kita bisa sehat dan merasakan nikmat Allah. Alhamdulillah…

Semogga manfaat…

Wassalamu’alaikum…

      

Kamis, 18 April 2013

ONAR

Onar,
Memanag onar…
Bahkan sangat onar…

Awalnya terbelenggu…
Pada akhirnya menganggu…
Kau pikir semua tuna rungu??

Beralasan demi kebenaran…
Padahal sama sekali tidak berpendidikan…
Dan kau juga bukan seorang pahlawan…

Tolong jangan ulangi sensasi…
Tolong pikir semua aksi…
Karena belum tentu dapat reaksi…

Penengah bukan berarti kalah…
Perlahan tapi pasti…

Negara punya aturan…
Orang berpendidikan lebih berfikir rasional…
Dari pada emosional…

Lihatlah pada sang saka yang berkibar disana…
Melihat rakyatnya yang penuh akan tuntutan…
Tak ada yang merasa bersalah…
Namun juga tak ada yang mau mengalah…
Mungkin lebih tepatnya karena semua salah kaprah…

INGIN UNGKAPKAN RASA

Beribu kata yang ingin ku ungkap tentang rasa..
Tentang cinta..
Namun ku akui, siapa diri ini..
Hanya bidadari yang terhalangi duri diri..
Hanya sekuntum bunga yang terus menanti..

Bidadari pun ingin dimengerti..
Sekuntum bunga pun mempunyai asa..

Namun kadang hanya bidadara yang meraja..
Hanya kumbang yang berkuasa..

Apakah hanya diri ini yang terlalu perasa..
Dengan sikap yang tak mampu mengungkap..
Dengan kata hati yang selalu bersembunyi..

Aku bukan si Qais sang penyair cinta..
Bukan pula si Laila yang gila karenanya..
Aku hanya lah orang biasa yang juga mempunyai rasa..
Yang tak mempunyai daya apa-apa tuk mengungkapnya..
Yang hanya memendam hingga berharap takdir menjawabnya..

MENCARI KEHAKIKIAN

Tersimpan untukmu yang tak ku tahu
Rasa yang terbelenggu
Terpenjara dalam jeruji qalbu
Merintih demi kebebasan
Mencari kehakikian

Jangan kau umbar senyum yang tak semestinya
Pandangan yang tak seharusnya
Sentuhan yang bukan haknya

karena ku hanya inginkan dia...
Dia yang selamanya
Dia yang ada bukan karena noda
Namun karena hakikatnya tercipta untuku selamanya..