Senin, 09 April 2012

Tak Ada Lagi Syurga Di Sana


Aku terbangun karena mimpi buruk. Terperanjat bergegas menghampirinya. Ku buka perlahan pintu kamarnya, aku melihat dia masih bernyawa, huft…aku bernafas lega. Dia yang semakin renta, keriput wajahnya semakin terlihat jelas, bunga jambu yang menghiasi rambut panjangnya membuatnya terlihat semakin menua. Otot-otot tangannya menggambarkan dia seorang pekerja keras. Dia tertidur meringkuk, ku luruskan posisinya. Semakin tak tega aku melihatnya. Perlahan aku belai pipinya, seperti dia membelaiku sewaktu bayiku. Aku kecup keningnya, seperti dia mengecupku, ku bentangkan selimut disekujur tubuhnya, agar hawa dingin tidak mengigilkan tubuhnya. Aku peluk perlahan agar dia tidak terbangun karena ulahku. Aku hanya ingin berada disisinya selama waktu belum memupus.
Usia yang semakin memendekkan pertemuan kita menjadi semangat agar aku selalu dan mampu membuatnya tersenyum bahagia. 

Bergantian aku memandangi ayah. Tubuhnya tak sekuat remajanya. Wajahnya sama mengeriput, rambutnya juga sama semakin memutih. Aku melihatnya dengan jelas, hembusan nafasnya menandakan dia tertidur pulas. Aku tersenyum kecil. Mereka menua dimakan usia. 

Tak sadar aku menyenggol lengan ibu, hingga dia terbangun. Dia melihatku yang tiba-tiba berada disisinya.

“Ada apa nduk? Kamu ngelilir.?” Tanya ibuku dengan suara lirihnya. 
“Iya bu…Ibu ayo bangun, kita shalat malam berjama’ah…”

Ibu tersenyum menuruti pintaku. Ayah tak kunjung bangun, sepertinya dia terlelap karena letih. Ku bentangkan selimut ibu ke sekujur tubuh ayah. Ku tengok kembali keadaan ayah selesaiku berwudlu, posisinya masih sama tak berubah. Ternyata ayah benar-benar pulas.

Shalat malam terlaksana dengan khusuk, suasana sepi membawa kita menyelami makna tahajud. Air mata berderaian saat ku panjatkan do’a dengan berbagai permintaan, agar Allah memberikan panjang umur kepada orang tuaku. Sedikit-dikit ibu menengok kearahku, setelah selesai bermunajat ku cium pungung telapak tangannya, sembari kuucap “Ibu maafkan aku yang belum bisa membuatmu lepas dari belenggu, aku yang masih membebanimu, aku yang selalu membuatmu dan ayah payah”

“Nak jangan kau ucap semua itu, itu adalah kewajiban kami sebagai orang tua, pertanda bahwa kami sayang kepadamu.”

Dengan pelukannya ku hentikan tangis isakku. Peluknya begitu hangat, membuatku nyaman ketika berada disisinya. Seakan aku tak mau beranjak dari sisinya. Dia pun dengan lembut mengusap air mataku.
Terdengar suara murotal dari mushola, setelah terdengar suara azan berkumandang kami dirikan shalat subuh berjama’ah. Kali ini diimami oleh ayah, yang sudah terbangun dari tidurnya. Aku begitu lega, keluarga ku seakan utuh.

Ku pandangi jam dinding terlihat jam menunjukkan pukul 05.00, “masih pagi” batinku.
Aku terkaget ketika melihat ibu sudah berbusana rapi, dengan memakai jubah putih dan jilbab hitam yang menutupi rambut panjangnya.

“Ibu mau kemana? Cantik sekali”
“Mau kepasar, sayur mayur sudah tak tersisa di kulkas.”
“Y sudah ibu hati-hati…”Lalu aku kecup punggu telapak tangan ibu.

Saat aku melihat ibu mulai melangkahkan kaki, hatiku tergerak untuk ikut ibu pergi ke pasar. Aku ingin sekali bersama-sama ibu. Aku pun menghentikan langkah ibu.

“Ibu….aku ikut…” teriakku

Ibu menggeleng melarangku ikut dengannya, padahal ingin sekali aku ikut ibu. Apa daya aku pun hanya mampu tersenyum kecil padanya.

Aku pun mengalihkan pekerjaanku untuk menghapus sedikit kekecewaan terhadap ibu karena melarangku. Aku bersihkan seisi ruangan rumah, dan aku tanakkan nasi, untuk nanti jika ibu datang tinggal memasak lauk saja.

Aku siapkan dua gelas kopi untuk ayah dan ibu. Aku bernafas lega karena pekerjaanku sudah selesai. Kini aku duduk-duduk di serambi rumah sambil menunggu ibu. Tiba-tiba terdengar suara sirine menuju arah rumahku, pikirku “suara sirine….kemana menuju, lho kok polisi, siapa yang dicari???”
 
“Mbk…rumah ibu zulaikhah???”

Aku hanya tercengang saat polisi menanyaiku, tiba-tiba ayah yang baru muncul ditengah-tengah kami langsung menyahut. 

“Iy pak benar, ada apa??”

“Kami beritahukan bahwa ibu Zulaikhah dalam keadaan kritis karena kecelakaan, sekarang berada di rumah sakit Pribumi”

Aku tak mampu berucap sepatah katapun, air mata pun tak keluar dari pelupuk mataku. Selangkah pun kakiku serasa tak mampu bergerak. Suaraku tersendat, aku hanya mampu tercengang. Ayah menenagkanku, dia berikan aku pelukan hangatnya. 

“Pak bisa kita ikut bapak menuju rummah sakit??” Pinta ayah pada pihak kepolisian.

Kami menuju rumah sakit dengan menggunakan mobil polsek. Pikirku tak mampu terkendali, sketika itu tiba-tiba pita suaraku tergerak untuk berteriak. Tanpa terkendali aku pun berteriak di dalam mobil polisi.
“Ibu…” Ayah mendekap aku rapat. Semua petugas menoleh kearahku. Namun tak ada rasa malu yang aku rasa. Terus ku panggil nama ibu, aku semakin melemas tak berdaya. Suaraku semakin melirih, air mata semakin menderas. Yang dibenakku hanyalah ibu.

Setibanya di rumah sakit Pribumi aku gugup mencari ruangan dimana ibu terbaring.  Akhirnya aku temukan ibu, yang lemah tak berdaya. Saat aku dan ayah tiba, ibu tersadar. Dia melirik kea rah kami. Namun dokter belum mengizinkan kami masuk ruangan ibu, ibu masih dalam perawatan. Aku terus memandangi ibu. Tangan ibu bergerak ke arahku dan bapak, dengan memaksakan kondisinya ibu menggerakkan tangannya. Aku memaksa memasuki ruangan, dokter masih saja melarangku. Aku terus berontak, dan aku pun berhasil memeluk tubuh ibu. Ayah membuntutiku, mencoba bersikap tenang.  Dengan sisa-sisa tenaganya ibu mengelus kepalaku. Kata dokter luka ibu tidak parah, namun terdapat benturan dikepalanya yang membuatnya tak berdaya.

Ibu tersenyum kepadaku, dia kuatkan aku dengan mengenggam jemariku. Ingin rasanya aku berteriak didepan ibu, namun aku tahan semua itu. Aku melihat nafas ibu yang semakin lama semakin sepenggal. Dengan ku bisikkan kalimat-kalimat tayyibah di dekat telinganya. Ibu pun menghembuskan nafas terakhirnya. Kini ibu benar-benar pergi tuk selamanya. Tim rumah sakit menutupkan kain mori di sekujur tubuhnya, untuk yang terakhir kalinya aku kecup kening ibu. Semua terasa menyakitkan bagi ku dan juga ayah. Tak akan ku temukan surga tuk kedua kalinya di telapak kakinya, tak ada surga lagi disana. Namun semua sudah menjadi kehendak sang pemilik hidup. Lagi-lagi ayah mendekapku, dia kecup keningku sebagai penguat bahwa aku tak sendiri.

Hanya bayangan ibu yang terdapat dianganku. Menyesal kini yang aku rasa, “andai saja aku yang pergi kepasar, pasti semua tidak terjadi pada ibu. Namun nasi  sudahlah menjadi bubur.  SELAMAT JALAN IBU…”

Dan ternyata aku baru tersadar bahwa malam itu, tahajud itu, hanya sebagai kenangan terakhirku bersama ibu. Dan sekarang hanya dengan do’a aku bisa bahagiakan ibu di sana. Tak mau ku menyesal untuk kedua kalinya, kini hanya ayah yang aku punya, tak ingin aku sia-siakan kehidupan bersamanya. Kebahagiannya adalah kebahagiaanku, kesedihannya hanya membuatku semakin pedih.


The end

3 komentar:

Najma Fairuz mengatakan...

Subhanallah, banyak perubahan yg trjadi sma tmanku yg satu ni
Sukses ya pi,,, trus berkarya y.....

lupitha sari mengatakan...

trimakasih...
semoga menjadi doa yang didengar oleh Nya...

Najma Fairuz mengatakan...

Amin amin amiiin

Posting Komentar