Tentang rasa yang tak pernah dimengerti. Tentang cinta yang
dirasa hampa. Mengurai kisah cinta seorang hawa, yang memiliki cinta yang entah
bagaimana cara mengespresikannya. Apakah cinta hanya milik sang Adam??
Bagaimana dengan Hawa yang merasakan cinta…apakah takdir seorang Hawa hanyalah
menerima cinta…
Hawa itu bernama Yuvita Salekhah Larasati, Yuvi sering orang
memanggilnya. Berkepribadian tertutup meskipun mempunyai sifat periang. Tak
banyak orang tahu akan masalah yang di rasanya. Entah bagaimana cara dia
mengatasi masalah hidup dengan sendirinya.
Suatu ketika di kamar di mana dia membaringkan tubuh
mungilnya. Hand phone miliknya berdering, terlihat beberapa massage di layar hp
nya dari seseorang.
K Ihsan
Bagaimana kabar??
K Ihsan
Met istirahat..
Tak ada satu pun massage Ihsan yang terbalas oleh Yuvi.
Cuek, ya…gadis mungil ini terkesan cuek, apa lagi dengan lawan jenisnya. Hati
nya tak kunjung luluh dengan tawaran cinta yang kerap menghampirinya. Entahlah
apa yang menjadi tujuan nya dengan hidup yang serba apa adanya.
Apakah tak ada kata cinta di perbendaharaan pikirannya, atau
mungkinkah tak ada sedikit rasa pun kepada seorang lawan jenis yang dikenalnya…memang
tak mudah menebak pikiran gadis ini. Jika banyak gadis seumurnya yang kerap
kali sakit hati karena masalah cinta, berbeda dengan gadis ini, sepertinya tak
sama sekali dia berpikir tentang masalah hati.
“Yuvi…tak adakah tempat dihatimu untuk sekedar menyimpan
namaku…??? Aku sunguh sayang kamu…tolong berilah sedikit celah dihatimu untuk
ku…” Pria tampan itu tak putus asa merengek cinta pada Yuvi, yang pasti jawaban
tak sedap akan dilontarkannya. Yuvi hanya tersenyum, tak ingin ada yang
tersakiti dengan sikapnya yang terlalu dingin akan cinta, namun itulah Yuvi,
yang tak tahu kapan akan membuka hati untuk orang yang menaruh hati padanya.
“Sekali lagi maaf…mungkin aku bukan lah orang yang kamu cari
selama ini, jika hanya sebatas teman mungkin aku akan lebih bersedia, namun
jika kamu meminta lebih dari itu, maaf…aku tidak bisa…” Jelas Yuvi pada Ihsan,
yang tiada henti meluluhkan hati Yuvi.
Yuvi hanya disibukkan dengan jadwal perkuliahan, dia lebih
senang bergelut dengan materi-materi perkuliahan dan teman-temannya dari pada
harus memikirkan masalah cinta. Suatu saat ketika Yuvi berbincang dengan ibunya
melalui seluler. “Nak…gimana??”
“Apa mi’??” Tanya Yuvi yang tak tahu maksud umi’nya..
“Itu…yang pernah umi’ bicarakan dulu…”
“Hemm…mi’…mi’…umi’ selalu begitu…insya Allah mi’…do’akan
saja…” Jelas Yuvi.
Yuvi adalah salah satu anak yang menjadi harapan orang
tuanya, selain karena posisinya yang menjadi anak pertama, juga karena usia
orang tuanya yang menginjak usia senja, tak sabar sepertinya orang tua Yuvi
melihat anak sulungnya segera menemukan pasangan hidup dan memberikan seorang
cucu bagi mereka. Untuk itulah tak bosan orang tua Yuvi selalu menanyakan
perihal itu pada Yuvi. Ternyata mereka mengidamkan seseorang yang dianggapnya
pantas menjadi pendamping bagi Yuvi.
Sejak perbincangannya dengan orang tuanya mengenai seseorang
yang di inginkan orang tua Yuvi, sejak saat itulah Yuvi sedikit berpikir,
dengan usianya yang menginjak 20 tahun tak mungkin selamanya Yuvi tak
memikirkan masalah pendamping hidupnya. Apa lagi menanggapi keinginan orang
tuanya yang kerap kali menanyakan persoalan itu. Sering kali Yuvi terdiam,
seperti tersekak oleh perbincangan orang tuanya yang tak searah dengan dirinya.
Namun begitulah harapan semua orang tua yang menginginkan anaknya mendapatkan
yang terbaik untuk masa depannya.
Meskipun demikian Yuvi tak jauh beda dengan hari-hari
sebelumnya. Sifat cueknya masih saja mengandrungi dirinya.
Lagi-lagi hand phone gengamnya berdering. Kali ini dengan
nama Mas Izul. Dengan segera Yuvi membalas massagenya.
Yuvi
Alhamdulillah baik mas, aku dikampus…
Jawabnya dengan tangan yang masih gemetaran.
Mas Izul
Besok aku pulang, kamu gag pulang?
Yuvi
Hem…tidak, masih ada acara kampus mas…
Setelah beberapa kali berkirim kabar melalui seluler dengan
Izul, sejak saat itu pikiran Yuvi menjadi resah. Tanpa di sadarinya terkadang
lamunanya membayangkan sosok Izul yang entak mulai kapan masuk dalam memorinya.
Berawal dari orang tuanya yang sering kali menanyakan hubungannya dengan Izul
hingga akhirnya muncul sedikit rasa pada sosok Izul. Yuvi pun sesegera mungkin
menepiskan lamunanya, tak ingin rasa itu masuk terlalu dalam di hatinya. Tak
ingin pula orang lain tahu, bahwa hatinya kini mulai pulih, pulih dari sifat
cuek yang dimilikinya selama ini.
Namun kini kenyataan yang dihadapinya terlalu menyanyat
hati. Sedikit cinta yang mulai tumbuh tak sama sekali terlihat tanda-tandanya.
Dia yang harus menanti kini mulai merasa lelah dengan penantian yang
diharapkannya. Hanya dengan bait-bait puisinya dia mengespresikan rasa yang
mulai tumbuh.
Apakah
ini rasa yang sesungguhnya..
Apakah
ini rasa yang datang bukan karena terpaksa…
Apakah
rasa ini bernama cinta…
Aku
tak mampu memahaminya…
Ulahku
terlalu lucu untuk dipadu,
Caraku
terlalu membuat diriku malu,
Hal
yang tak pernah aku tahu…
Adakah
rasa yang sama dihatimu…
Tentangku…
Sosok yang membuat hati seorang Yuvi luluh, hanya dengan beberapa
kali pertemuan saja. Namun sayang entah lah Tuhan menyematkan rasa yang sama
atau tidak dihati seorang Izul untuk Yuvi. Kini sering air matanya mengalir
membasahi pipinya saat memikirkan sosok Izul, sujud panjangnya mengadu masalah
hati yang sering membuatnya kelu. Baginya hanya Tuhanlah sang pemilik cinta
yang bisa membuatnya tenang kembali. Sehingga syair pun tercipta dari lubuk
hati terdalamnya.
Aku mencinta,
Namun tak ku rasa,
Aku memuja,
Namun tak ku kata,
Semua sembunyi di balik hati,
Semua membeku dalam angan,
Bukan ku apatis dengan perasaan,
Bukan ku berpasrah dengan keadaan,
Namun ku hanya ingin menanti
secercah cahaya cinta yang datang karena Nya bukan karena nafsu belaka,
Karena ku ingin cinta yang
selamanya,
Bukan cinta yang sementara,
Dengan bait-bait puisi yang di tulisnya, setidaknya sedikit membuat
hatinya tenang. Walau hatinya penuh dengan keyakinan, namun scenario Tuhan
siapa yang tahu. Hanya do’alah sebagai penguat keyakinan akan pada siapa kelak
hatinya bertaut.
Apa seperti inikah rasa yang pernah dirasa oleh orang-orang yang
pernah menaruh hati padaku?? Ataukah lebih sakit dari yang aku rasa saat
ini…sekarang semua setimpal, karena aku saat ini merasakan apa yang pernah
mereka rasakan padaku…
Memori Yuvi mengingatkan pada orang-orang yang pernah menaruh hati
padanya. Kini semua menghilang, saat dia benar-benar butuh seorang penenang. Hanya
Tuhan lah yang tertinggal sebagai kekasih yang sesungguhnya sebagai sahabat
selamanya.
Ku
mulai dengan ungkapan syukur,
Syukur
atas semua pemberian-Nya,
Atas
kenyataan,
Atas
perasaan,
Semakin
lama rasa ini semakin menjadi,
Dan
semua itu tak dapat ku pungkiri,
Korelasi
dan integrasi antara ikatan yang tak ada imbalan,
Aku
memang bukan pahlawan cinta yang selalu tersindrom karenanya,
Walau
kadang aku berharap hanya dapat senyuman,
Namun
apa guna jika semua itu ada karena nafsu belaka,
Bukan
harapanku semata,
Lebih
baik ku simpan saja di lubuk hati yang terdalam,
Biar
perih,
Namun
hanya aku yang merasa,
Bukan
dia,
Biar
ku berteman dengan Tuhan sang pencipta rasa,
Biar
rasa ini abadi tuk selamanya,
Walau
tak terbalas olehnya,
Namun
setidaknya pernah ada rasa tentangnya,
Hanya cinta seorang Izul yang mampu mencairkan hati Yuvi. Bukan
karena pangkat akademik yang dimiliki Izul yang membuat Yuvi begitu
terperangkap dalam jarring-jaring cintanya, melainkan karena sosok Izul yang
dianggapnya memiliki karisma tersendiri saat kali pertama mereka bertatap.
Ditengah gelapnya malam, di tengah lelapnya umat berbaring melepas
lelah. Suara isak tangisnya terdengar dalam ruangan kamar kostnya. Yuvi
mengadukan semua permasalahan hatinya pada Sang pencipta rasa yang telah
menumbuhkan rasa di hatinya.
“Tuhan…adakah cinta untuh seorang Hawa…??Cinta yang Engkau
tanamkan dihatiku begitu sadu…tapi aku hanyalah HawaMu yang tak mempunyai daya
apa-apa, tak sanggup rasanya jika penantian ini berlalu begitu lama, karena
hamba adalah insan biasa, maafkan hamba jika rasa ini melebihi rasaku padaMu ya
Rabb…tapi sungguh itu bukan mauku…”
Air matanya membanjiri putih mukena yang dipakainya. Senggukan
tangisnya membangunkan teman satu kost yang perlahan-lahan mulai membuka mata,
menamati gerak Yuvi. Meski rasa kantuk Ruri teman satu kost Yuvi, masih
mengandrunginya, perlahan Ruri mendekati Yuvi yang duduk bersila diatas
bentangan sajadahnya.
“Sabar Yuvi…” Ruri mencoba menenagkan Yuvi, walau tak tahu asal masalah
yang dihadapi Yuvi. Matanya masih setengah watt. Tapi tak tega Ruri melihat
sahabatnya yang tak pernah sebelumnya Ruri melihat Yuvi menangis. Dengan
spontan Yuvi memeluk tubuh Ruri yang masih sempoyongan. Ruri semakin terkaget
dengan ulah sahabatnya. Matanya semakin terbuka lebar, rasa kantuk tak lagi
dirasanya.
“Jika kamu percaya sama aku, ceritalah…dengan senang hati aku akan
mendengarkan masalah kamu Yuvi…” Dengan bijak Ruri menenagkan Yuvi yang tak
henti-hentinya menangis. Matanya semakin terlihat sembab, namun tak satu
katapun keluar dari mulutnya.
Yuvi menganggukkan kepalanya, senyumnya merekah terpaksa. Yuvi tak
ingin terlihat rapuh, diusapnya air mata yang melinang melintas dipipinya.
“Maaf jika kamu terbangun karena aku Ruri, aku ok kok.” Yuvi meyakinkan
pada sahabatnya akan dirinya.
Ruri kembali keranjang tempat dia merebahkan
tubuhnya. Diperhatikan tingkah Yuvi sahabatnya yang terlihat resah. Namun tak
banyak yang bisa diperbuatnya untuk sahabatnya, karena sikap Yuvi yang sangat
tertutup.
Mata Yuvi perlahan tertutup, mungkin karena lelah dengan
tangisnya, sehingga hanya beberapa menit saja Yuvi tertidur. Ruri masih
memandangi Yuvi, sikapnya semakin aneh akhir-akhir ini. Yang dulu Yuvi adalah
seorang periang, kini periang itu semakin menghilang. Ruri melihat ada sebuah
buku yang tergeletak disamping tempat dimana Yuvi melepas lelah tubuhnya. Ruri
segera mengambil dan membaca isi agenda yang selama ini membuatnya
bertanya-tanya akan isinya. Tanpa dirasa air matanya meleleh.
“Subkhanallah…” Kepala Ruri tak henti-hentinya menggeleng.
Ternyata tanpa diketahuinya selama ini sahabatnya mempunyai masalah yang begitu
berat. Mungkin jika Ruri berada diposisi Yuvi, entah bagaimana dia menghadapi
masalah yang tak semua wanita sepertinya mampu mengatasi masalah itu. Bait
puisi yang ditulisnya terasa menyanyat hati. Kata-kata indah itu mewakili
perasaan yang mungkin selama ini dia sembunyikan hanya dalam hati.
Yuvi terbangun mendengar suara adzan subuh. Dilihat sahabatnya
Ruri yang memandangi dirinya. Air matanya kembali meleleh ketika melihat buku
agenda ada dalam genggaman Ruri.
“Yuvi…kenapa kamu tak pernah menceritakan sedikit pun masalah yang
kamu hadapi…??” Ruri membuka pembicaraan.
“Maaf…bukan aku tidak percaya kamu, tapi aku takut jika
semakin aku membuka mulut, maka masalahku ini akan membebani orang lain. Terutama
kamu Ruri.” Jelas Yuvi.
“Yuvi aku ini sahabatmu, apa guna sahabat jika tak pernah tahu
bahwa sahabatnya sedang luka. Tapi aku mulai tahu, bahwa ternyata kamu bukanlah
seperti sesosok Yuvi yang aku pikirkan. Aku berpikir kamu adalah orang yang
beku akan cinta, tapi ternyata tidak. Hemmm…tenang Yuvi, kita akan cari bersama
solusi cinta yang kamu alami. Selama Tuhan masih dekat dengan kita, maka tak
akan ada yang sulit untuk kita mohon pada Nya. Rencana Tuhan lebih indah dari
apa yang kita pikirkan.”
“Terima kasih Ruri…” Air mata berjatuhan ditengah-tengah keduanya.
Seusai keduanya menjalankan shalat subuh, mereka khusuk dengan
do’a masing-masing. Mengadu dan memohon akan masalah hati yang dirasanya.
“Tuhan jika cinta itu tersemat dihati seorang Hawa, maka
kasihanilah dia yang tak punya kekuatan tuk mengatakannya. Kekuatan yang dia
punya tak lain adalah dari Mu. Hati yang begitu lembut Kau cipta untuk nya
seorang Hawa, maka jadikanlah cinta yang dirasa berbuah indah. Kau lebih
mengetahui atas apa yang tak ku ketahui Ya Rabb…Amiin…” Setegar dan sekuat Yuvi
dalam menghadapi masalah, namun hanya masalah cinta yang dirasanya lah yang
mampu membuatnya berbanjiran air mata. Karena begitulah seorang Hawa yang menyimpan
cinta dihatinya.
Untuk Adam…
Andai hati seorang Hawa tercipta bak hati seorang Adam,
Mungkin dunia tak seindah yang dirasa…
Begitulah Tuhan Sang Pencipta, yang menciptakan Hawa dengan
keindahan dan kelembutan,
Namun Hawa jugalah manusia…
Yang memiliki cinta, sama dengan seorang Adam…
Andai Adam tahu bagaimana sakit yang dirasa saat sebuah rasa
tersemat dihati Hawa untuk seorang terkasihnya,
Namun hanya penantian yang mampu diperbuatnya,
Karena apalah daya…
Tuhanlah yang Maha Mengetahui atas sesuatu…