Selasa, 11 September 2012

ADAKAH CINTA UNTUK SI HAWA…??

Tentang rasa yang tak pernah dimengerti. Tentang cinta yang dirasa hampa. Mengurai kisah cinta seorang hawa, yang memiliki cinta yang entah bagaimana cara mengespresikannya. Apakah cinta hanya milik sang Adam?? Bagaimana dengan Hawa yang merasakan cinta…apakah takdir seorang Hawa hanyalah menerima cinta…

Hawa itu bernama Yuvita Salekhah Larasati, Yuvi sering orang memanggilnya. Berkepribadian tertutup meskipun mempunyai sifat periang. Tak banyak orang tahu akan masalah yang di rasanya. Entah bagaimana cara dia mengatasi masalah hidup dengan sendirinya.

Suatu ketika di kamar di mana dia membaringkan tubuh mungilnya. Hand phone miliknya berdering, terlihat beberapa massage di layar hp nya dari seseorang.

K Ihsan
Bagaimana kabar??

K Ihsan
Met istirahat..

Tak ada satu pun massage Ihsan yang terbalas oleh Yuvi. Cuek, ya…gadis mungil ini terkesan cuek, apa lagi dengan lawan jenisnya. Hati nya tak kunjung luluh dengan tawaran cinta yang kerap menghampirinya. Entahlah apa yang menjadi tujuan nya dengan hidup yang serba apa adanya. 

Apakah tak ada kata cinta di perbendaharaan pikirannya, atau mungkinkah tak ada sedikit rasa pun kepada seorang lawan jenis yang dikenalnya…memang tak mudah menebak pikiran gadis ini. Jika banyak gadis seumurnya yang kerap kali sakit hati karena masalah cinta, berbeda dengan gadis ini, sepertinya tak sama sekali dia berpikir tentang masalah hati.

“Yuvi…tak adakah tempat dihatimu untuk sekedar menyimpan namaku…??? Aku sunguh sayang kamu…tolong berilah sedikit celah dihatimu untuk ku…” Pria tampan itu tak putus asa merengek cinta pada Yuvi, yang pasti jawaban tak sedap akan dilontarkannya. Yuvi hanya tersenyum, tak ingin ada yang tersakiti dengan sikapnya yang terlalu dingin akan cinta, namun itulah Yuvi, yang tak tahu kapan akan membuka hati untuk orang yang menaruh hati padanya.

“Sekali lagi maaf…mungkin aku bukan lah orang yang kamu cari selama ini, jika hanya sebatas teman mungkin aku akan lebih bersedia, namun jika kamu meminta lebih dari itu, maaf…aku tidak bisa…” Jelas Yuvi pada Ihsan, yang tiada henti meluluhkan hati Yuvi.

Yuvi hanya disibukkan dengan jadwal perkuliahan, dia lebih senang bergelut dengan materi-materi perkuliahan dan teman-temannya dari pada harus memikirkan masalah cinta. Suatu saat ketika Yuvi berbincang dengan ibunya melalui seluler. “Nak…gimana??”

“Apa mi’??” Tanya Yuvi yang tak tahu maksud umi’nya..

“Itu…yang pernah umi’ bicarakan dulu…” 

“Hemm…mi’…mi’…umi’ selalu begitu…insya Allah mi’…do’akan saja…” Jelas Yuvi.

Yuvi adalah salah satu anak yang menjadi harapan orang tuanya, selain karena posisinya yang menjadi anak pertama, juga karena usia orang tuanya yang menginjak usia senja, tak sabar sepertinya orang tua Yuvi melihat anak sulungnya segera menemukan pasangan hidup dan memberikan seorang cucu bagi mereka. Untuk itulah tak bosan orang tua Yuvi selalu menanyakan perihal itu pada Yuvi. Ternyata mereka mengidamkan seseorang yang dianggapnya pantas menjadi pendamping bagi Yuvi. 

Sejak perbincangannya dengan orang tuanya mengenai seseorang yang di inginkan orang tua Yuvi, sejak saat itulah Yuvi sedikit berpikir, dengan usianya yang menginjak 20 tahun tak mungkin selamanya Yuvi tak memikirkan masalah pendamping hidupnya. Apa lagi menanggapi keinginan orang tuanya yang kerap kali menanyakan persoalan itu. Sering kali Yuvi terdiam, seperti tersekak oleh perbincangan orang tuanya yang tak searah dengan dirinya. Namun begitulah harapan semua orang tua yang menginginkan anaknya mendapatkan yang terbaik untuk masa depannya.

Meskipun demikian Yuvi tak jauh beda dengan hari-hari sebelumnya. Sifat cueknya masih saja mengandrungi dirinya. 

Lagi-lagi hand phone gengamnya berdering. Kali ini dengan nama Mas Izul. Dengan segera Yuvi membalas massagenya.

Yuvi
Alhamdulillah baik mas, aku dikampus…
Jawabnya dengan tangan yang masih gemetaran.

Mas Izul
Besok aku pulang, kamu gag pulang?

Yuvi
Hem…tidak, masih ada acara kampus mas…

Setelah beberapa kali berkirim kabar melalui seluler dengan Izul, sejak saat itu pikiran Yuvi menjadi resah. Tanpa di sadarinya terkadang lamunanya membayangkan sosok Izul yang entak mulai kapan masuk dalam memorinya. Berawal dari orang tuanya yang sering kali menanyakan hubungannya dengan Izul hingga akhirnya muncul sedikit rasa pada sosok Izul. Yuvi pun sesegera mungkin menepiskan lamunanya, tak ingin rasa itu masuk terlalu dalam di hatinya. Tak ingin pula orang lain tahu, bahwa hatinya kini mulai pulih, pulih dari sifat cuek yang dimilikinya selama ini.

Namun kini kenyataan yang dihadapinya terlalu menyanyat hati. Sedikit cinta yang mulai tumbuh tak sama sekali terlihat tanda-tandanya. Dia yang harus menanti kini mulai merasa lelah dengan penantian yang diharapkannya. Hanya dengan bait-bait puisinya dia mengespresikan rasa yang mulai tumbuh.  

Apakah ini rasa yang sesungguhnya..
Apakah ini rasa yang datang bukan karena terpaksa…
Apakah rasa ini bernama cinta…
Aku tak mampu memahaminya…

Ulahku terlalu lucu untuk dipadu,
Caraku terlalu membuat diriku malu,

Hal yang tak pernah aku tahu…
Adakah rasa yang sama dihatimu…
Tentangku…

Sosok yang membuat hati seorang Yuvi luluh, hanya dengan beberapa kali pertemuan saja. Namun sayang entah lah Tuhan menyematkan rasa yang sama atau tidak dihati seorang Izul untuk Yuvi. Kini sering air matanya mengalir membasahi pipinya saat memikirkan sosok Izul, sujud panjangnya mengadu masalah hati yang sering membuatnya kelu. Baginya hanya Tuhanlah sang pemilik cinta yang bisa membuatnya tenang kembali. Sehingga syair pun tercipta dari lubuk hati terdalamnya. 

Aku mencinta,
Namun tak ku rasa,
Aku memuja,
Namun tak ku kata,
Semua sembunyi di balik hati,
Semua membeku dalam angan,
Bukan ku apatis dengan perasaan,
Bukan ku berpasrah dengan keadaan,
Namun ku hanya ingin menanti secercah cahaya cinta yang datang karena Nya bukan karena nafsu belaka,
Karena ku ingin cinta yang selamanya,
Bukan cinta yang sementara,

Dengan bait-bait puisi yang di tulisnya, setidaknya sedikit membuat hatinya tenang. Walau hatinya penuh dengan keyakinan, namun scenario Tuhan siapa yang tahu. Hanya do’alah sebagai penguat keyakinan akan pada siapa kelak hatinya bertaut. 

Apa seperti inikah rasa yang pernah dirasa oleh orang-orang yang pernah menaruh hati padaku?? Ataukah lebih sakit dari yang aku rasa saat ini…sekarang semua setimpal, karena aku saat ini merasakan apa yang pernah mereka rasakan padaku…

Memori Yuvi mengingatkan pada orang-orang yang pernah menaruh hati padanya. Kini semua menghilang, saat dia benar-benar butuh seorang penenang. Hanya Tuhan lah yang tertinggal sebagai kekasih yang sesungguhnya sebagai sahabat selamanya.

Ku mulai dengan ungkapan syukur,
Syukur atas semua pemberian-Nya,
Atas kenyataan,
Atas perasaan,

Semakin lama rasa ini semakin menjadi,
Dan semua itu tak dapat ku pungkiri,
Korelasi dan integrasi antara ikatan yang tak ada imbalan,

Aku memang bukan pahlawan cinta yang selalu tersindrom karenanya,
Walau kadang aku berharap hanya dapat senyuman,
Namun apa guna jika semua itu ada karena nafsu belaka,
Bukan harapanku semata,

Lebih baik ku simpan saja di lubuk hati yang terdalam,
Biar perih,
Namun hanya aku yang merasa,
Bukan dia,

Biar ku berteman dengan Tuhan sang pencipta rasa,
Biar rasa ini abadi tuk selamanya,
Walau tak terbalas olehnya,
Namun setidaknya pernah ada rasa tentangnya,

Hanya cinta seorang Izul yang mampu mencairkan hati Yuvi. Bukan karena pangkat akademik yang dimiliki Izul yang membuat Yuvi begitu terperangkap dalam jarring-jaring cintanya, melainkan karena sosok Izul yang dianggapnya memiliki karisma tersendiri saat kali pertama mereka bertatap. 

Ditengah gelapnya malam, di tengah lelapnya umat berbaring melepas lelah. Suara isak tangisnya terdengar dalam ruangan kamar kostnya. Yuvi mengadukan semua permasalahan hatinya pada Sang pencipta rasa yang telah menumbuhkan rasa di hatinya.

“Tuhan…adakah cinta untuh seorang Hawa…??Cinta yang Engkau tanamkan dihatiku begitu sadu…tapi aku hanyalah HawaMu yang tak mempunyai daya apa-apa, tak sanggup rasanya jika penantian ini berlalu begitu lama, karena hamba adalah insan biasa, maafkan hamba jika rasa ini melebihi rasaku padaMu ya Rabb…tapi sungguh itu bukan mauku…”

Air matanya membanjiri putih mukena yang dipakainya. Senggukan tangisnya membangunkan teman satu kost yang perlahan-lahan mulai membuka mata, menamati gerak Yuvi. Meski rasa kantuk Ruri teman satu kost Yuvi, masih mengandrunginya, perlahan Ruri mendekati Yuvi yang duduk bersila diatas bentangan sajadahnya.

“Sabar Yuvi…” Ruri mencoba menenagkan Yuvi, walau tak tahu asal masalah yang dihadapi Yuvi. Matanya masih setengah watt. Tapi tak tega Ruri melihat sahabatnya yang tak pernah sebelumnya Ruri melihat Yuvi menangis. Dengan spontan Yuvi memeluk tubuh Ruri yang masih sempoyongan. Ruri semakin terkaget dengan ulah sahabatnya. Matanya semakin terbuka lebar, rasa kantuk tak lagi dirasanya.

“Jika kamu percaya sama aku, ceritalah…dengan senang hati aku akan mendengarkan masalah kamu Yuvi…” Dengan bijak Ruri menenagkan Yuvi yang tak henti-hentinya menangis. Matanya semakin terlihat sembab, namun tak satu katapun keluar dari mulutnya.

Yuvi menganggukkan kepalanya, senyumnya merekah terpaksa. Yuvi tak ingin terlihat rapuh, diusapnya air mata yang melinang melintas dipipinya. 

“Maaf jika kamu terbangun karena aku Ruri, aku ok kok.” Yuvi meyakinkan pada sahabatnya akan dirinya. 

Ruri kembali keranjang tempat dia merebahkan tubuhnya. Diperhatikan tingkah Yuvi sahabatnya yang terlihat resah. Namun tak banyak yang bisa diperbuatnya untuk sahabatnya, karena sikap Yuvi yang sangat tertutup.
Mata Yuvi perlahan tertutup, mungkin karena lelah dengan tangisnya, sehingga hanya beberapa menit saja Yuvi tertidur. Ruri masih memandangi Yuvi, sikapnya semakin aneh akhir-akhir ini. Yang dulu Yuvi adalah seorang periang, kini periang itu semakin menghilang. Ruri melihat ada sebuah buku yang tergeletak disamping tempat dimana Yuvi melepas lelah tubuhnya. Ruri segera mengambil dan membaca isi agenda yang selama ini membuatnya bertanya-tanya akan isinya. Tanpa dirasa air matanya meleleh. 

“Subkhanallah…” Kepala Ruri tak henti-hentinya menggeleng. Ternyata tanpa diketahuinya selama ini sahabatnya mempunyai masalah yang begitu berat. Mungkin jika Ruri berada diposisi Yuvi, entah bagaimana dia menghadapi masalah yang tak semua wanita sepertinya mampu mengatasi masalah itu. Bait puisi yang ditulisnya terasa menyanyat hati. Kata-kata indah itu mewakili perasaan yang mungkin selama ini dia sembunyikan hanya dalam hati.

Yuvi terbangun mendengar suara adzan subuh. Dilihat sahabatnya Ruri yang memandangi dirinya. Air matanya kembali meleleh ketika melihat buku agenda ada dalam genggaman Ruri.

“Yuvi…kenapa kamu tak pernah menceritakan sedikit pun masalah yang kamu hadapi…??” Ruri membuka pembicaraan.

“Maaf…bukan aku tidak percaya  kamu, tapi aku takut jika semakin aku membuka mulut, maka masalahku ini akan membebani orang lain. Terutama kamu Ruri.” Jelas Yuvi.

“Yuvi aku ini sahabatmu, apa guna sahabat jika tak pernah tahu bahwa sahabatnya sedang luka. Tapi aku mulai tahu, bahwa ternyata kamu bukanlah seperti sesosok Yuvi yang aku pikirkan. Aku berpikir kamu adalah orang yang beku akan cinta, tapi ternyata tidak. Hemmm…tenang Yuvi, kita akan cari bersama solusi cinta yang kamu alami. Selama Tuhan masih dekat dengan kita, maka tak akan ada yang sulit untuk kita mohon pada Nya. Rencana Tuhan lebih indah dari apa yang kita pikirkan.” 

“Terima kasih Ruri…” Air mata berjatuhan ditengah-tengah keduanya.  

Seusai keduanya menjalankan shalat subuh, mereka khusuk dengan do’a masing-masing. Mengadu dan memohon akan masalah hati yang dirasanya.

“Tuhan jika cinta itu tersemat dihati seorang Hawa, maka kasihanilah dia yang tak punya kekuatan tuk mengatakannya. Kekuatan yang dia punya tak lain adalah dari Mu. Hati yang begitu lembut Kau cipta untuk nya seorang Hawa, maka jadikanlah cinta yang dirasa berbuah indah. Kau lebih mengetahui atas apa yang tak ku ketahui Ya Rabb…Amiin…” Setegar dan sekuat Yuvi dalam menghadapi masalah, namun hanya masalah cinta yang dirasanya lah yang mampu membuatnya berbanjiran air mata. Karena begitulah seorang Hawa yang menyimpan cinta dihatinya.

Untuk Adam…
Andai hati seorang Hawa tercipta bak hati seorang Adam,
Mungkin dunia tak seindah yang dirasa…
Begitulah Tuhan Sang Pencipta, yang menciptakan Hawa dengan keindahan dan kelembutan,
Namun Hawa jugalah manusia…
Yang memiliki cinta, sama dengan seorang Adam…
Andai Adam tahu bagaimana sakit yang dirasa saat sebuah rasa tersemat dihati Hawa untuk seorang terkasihnya,
Namun hanya penantian yang mampu diperbuatnya,
Karena apalah daya…
Tuhanlah yang Maha Mengetahui atas sesuatu…